Mohon tunggu...
Sugiyanto Hadi Prayitno
Sugiyanto Hadi Prayitno Mohon Tunggu... Penulis - Lahir di Ampel, Boyolali, Jateng. Sarjana Publisistik UGM, lulus 1982. Pensiunan Pegawai TVRi tahun 2013.

Pensiunan PNS, penulis fiksi. Menulis untuk merawat ingatan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen I Iseng Saja, Waspadalah (1)

4 Maret 2017   13:38 Diperbarui: 21 Maret 2017   20:01 278
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kalau kita sedang nganggur, tidak punya pekerjaan apapun, bolehlah sekali waktu berlaku iseng-iseng. Memikirkan apa saja, kerja apa saja, atau bikin apa saja. Iseng saja. Bebas, merdeka. Namanya juga iseng-iseng.

Meski tentu banyak orang yang tidak suka diisengi. Tapi berapa banyak orang yang lagi nganggur, lagi libur, dan yang lagi tidak punya kesibukan apapun yang ingin sekadar iseng. Boleh kok, tidak bayar mahal, dan hasilnya tinggal ditunggu. Begitupun perlu dibarengi doa, dengan segala cara agar usaha sukses. Ya, seiseng apapun kelakuan seseorang, kata sukses pun harus dikejar.

***

Iseng itu hiburan sehat. Tapi jangan salah, iseng dapat pula berakibat kriminal. Beberapa penulis di medsos yang mengaku iseng harus berurusan dengan polisi. Itu berarti punya kans masuk sel di kantor polisi, dan kalau bernasib lebih buruk berarti terperangkap di ruang pengadilan. Pasti lebih lama lagi harus mendekam di Lapas. Padahal di sana penghuninya sudah melebihi kapasitas. Sudah sering terjadi kekacauan di penjara, yang menyebabkan jatuh korban, jiwa maupun harta-benda.

Eh ya, jangan-jangan banyak juga diantara yang kejeblos ke sana awal-mulanya semata karena urusan iseng. Iseng bikin hujatan, iseng memfitnah, iseng mengajak demo rusuh, iseng asal ngomong mengumbar ujaran kebencian. Iseng membegal, iseng merampok, bahkan juga iseng-saja memutilasi. Mana tahu ‘kan?

Begitupun iseng apapun perlu pemikiran dan perencanaan yang baik. Dan itulah yang dilakukan oleh Muskita binti Mustajab, seorang perempuan kutu buku usia matang namun betah tetap melajang.

Mungkin karena perempuan semodel dia sedang kelebihan stok di pasaran perjodohan. Mungkin selera cowok sudah berganti pada genre yang berbeda. Tidak mengherankan Muski seperti kehabisan akal untuk segera mendapatkan gandengan.

Perempuan yang dikenal idealis, sholehah, dan tidak suka ribut itu tidak cukup menonjol untuk menjadi incaran pria. Pergaulannya sangat terbatas untuk bisa kenal banyak cowok. Padahal tak kurang-kurang ia narsis di medsos seperti layaknya orang ingin beken lainnya. Tapi jodoh masih jauh. Namun entah kenapa tiba-tiba ia punya ide urakan. Tidak terlalu orisinal sebenarnya, tidak hebat-hebat amat memang, cuma sedikit nekat. Itu narsis dalam bentuk lain mungkin. . . . .!

***

Selepas Isya’ Muski dengan celana hitam dan kemeja panjang berkerudung keluar rumah. Langkahnya mantap, berjalan lewat beberapa gang, tembus ke jalan raya. Ada deretan toko ponseldengan segala aksesoriesnya. Ia memilih yang terjauh. Semua rencana sudah ada di kepalanya. Ia tidak ingin dikenali. Dibelinya pulsa perdana senilai sepuluh ribu rupiah. Seharga setengah mangkok bakso murah. Lalu cepat kembali ke rumah, masuk kamar, mengunci pintu, dan mulai beraksi.

“Adikku sayang. Sekiranya Abang datang malam ini ke rumahmu, apakah Abang bakal ditendang ataukah dirindu?” Muski menulis sms dengan suara. Ia sangat bahagia menemukan sebaris kata yang enak dan terasa merdu, meski itu tak ada maknanya sama sekali. Sebenarnya tidak perlu makna apapun memang, sebab ia akan berkirim entah kepada siapa dan dimana.

Muski menyusun sepuluh nomor ponsel acak saja, dari beberapa provider. Lalu dikirimnya serentak, dan menunggu. Diam, termenung, berangan-angan, malam merambat ke puncak, makin sepi, dan menunggu. Seperti para pemancing, melempar umpan lalu menunggu. Seperti para penjudi togel, memilih angka kemudian menunggu. Juga seperti prajurit dalam perang darat, memasang ranjau lalu menjauh, mencari perlindungan dan menunggu!

Itu menunggu yang begitu menegangkan, mungkin mencemaskan. Menunggu yang asyik, bukan bosan, sambil menduga-duga apa yang bakal terjadi. Seberapa hebat dan dahsyat hasilnya. Atau tidak terjadi apapun yang menawarkan sensasi. Beberapa menit kemudian telepon pintarnya bernyanyi, menandai sms masuk. Dengan berdebar Muski membuka dan membacanya cepat.

Jawaban sms pertama. “Siapa nih?” Muski bergumam sendiri: Siapa? Mau tahu aja sih! Penasaran ya?

Lalu sms jawaban kedua menyusul. “Jangan ganggu aku lagi. Kita sudah putus!” Muski senang pancingannya berhasil. Kapan juga kita pernah nyambung, kok tiba-tiba bilang putus? Aneh juga kamu ini. Ngaca dong!

Tak lama kemudian muncul sms jawaban ketiga. “Hai, kawan. Apa kamu penyuka sesama jenis?” Jawaban yang aneh. Muski terkekeh geli. Sesama jenis? Haha. Kamu jenis wau-wau atau bekantan? Atau jangan-jangan kamu termasuk primata ekor panjang? Hahaha. Gila.

Muskita tertawa saja. Ia membayangkan bagaimana ekspresi para korban keisengannya itu. Banyak orang yang tidak mau cepat mengumbar kemarahan. Mereka berpikir mungkin saja sedang  dipermainkan kawan sendiri.

“Ohya, gue Muski. Perawan waras. Berkulit matang manggis, tapi masih lajang. Aku nggak akan mengganggumu kalau memang kamu bukan tipe orang yang justru suka diganggu.. . . . .!” ucap Muski sendiri dengan suara bercanda, tidak menuliskannya sebagai balasan di sms. “Ohya, tentu aku penyuka sesama jenis. Jenis manusia, bukan sesama jenis kelamin. Jangan main tuduh sembarangan!” gumamnya sendiri.

Perempuan lajang itu menunggu lagi. Tapi sia-sia. Orang malas menjawab sms dari nomor tidak dikenal, dan lebih suka mendiamkannya saja. Itu dianggapnya seperti sms para menipu. Harga yang ditawar kemarin kami sudah cocok.  Yah, apa boleh buat. Kini saatnya membuat jawaban atas tiga pertanyaan dan pernyataan yang masuk.

“Aku bukan seperti yang kamu sangkakan. . . . .!” Perempuan itu tak habis penasaran pada jawaban baru dari pancingan yang dibuatnya. Dan jawaban kali ini agak sulit dibalas. “Memang aku sudah menyangka apa? Sok tahu!”

Itulah yang ditulis Muski mengomentari jawaban sms pertama, setelah berfikir beberapa saat untuk menemukan kalimat serius namun konyol sehingga membuka peluang jawaban yang lebih mengejutkan dan misterius.

***

Malam tanpa angin, mendung tebal di menggayuti langit, gerah. Perempuan lajang itu menutup sebelah daun jendela, dan sempat mengintip ke arah langit. Ia merasa haus. Bergegas Muski keluar kamar, melangkah ke dapur untuk membuat secangkir es teh.  Dua adiknya belum pulang dari kegiatan kampus. Ibu dan bapaknya pergi ke luar kota untuk satu urusan penting. Ahya, sepenting apa? Kenapa mereka tidak mengatakannya kalau memang amat penting? Jangan-jangan mereka menemui beberapa teman lama, teman SMP atau SMA misalnya. Jangan-jangan mereka memburu informasi kepada siapapun yang punya anak perjaka tampan dan mapan, masih lajang serta pasrah untuk dijodohkan? Jangan-jangan kedua orangtuanya ke biro jodoh. Ah ah! Muski tersenyum kecut sendiri, aneh dan hambar!

Muski kembali duduk di kursi baca, dekat rak buku, dan mulai membakar ujung lintingan kretek yang terselip di pinggir bibirnya. Iseng pun harus total, pikirnya kemudian. Jangan setengah-setengah, apalagi ragu-ragu. Sms, es teh, rokok kretek, dan santai menjadi sebentuk kenikmatan yang sangat mencekik pada waktu yang begitu rawan bagi setiap jomblo karatan: malam Minggu!  (Bersambung)***
Bandung, 16 Juni 2016 – 4 Maret 2017

Sumber gambar

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun