Dengan sangat tergesa-gesa Tarjimin mengemudi kendaraan keluar kota. Sementara itu ponselnya terus berdering. Ya, itu dari Aswina tentu saja. Cepat-cepat ia matikan suara dering itu. namun dering lain segera berbunyi. Ya, itu dari salah satu dari kedelapan penyanyi yang diincarnya. Pikiran Tarjimin jadi sangat kalut. Konsentrasinya dalam mengemudi mobil hilang-timbul. Ketakutan, kejengkelan dan berbagai perasaan lain menyelimutinya.
Hingga kemudian sesuatu melintas di depan jalannya. Mungkin kucing, atau bisa jadi anjing, atau sekadar penampakan yang tak jelas apa. Tak jelas benar Tarjimin melihatnya. Ia kaget, terjingkat, dan tentu saja refleks tangan dan kakinya tidak terkendali. Mobil terpelanting, berguling-guling akrobatik, dan  jatuh terbalik di selokan sisi jalan. Menimpa tanaman padi menguning, rerumputan, dan aliran air untuk pengairan sawah.
Tarjimin pingsan beberapa saat. Kaki dan tangannya terjepit badan mobil. Namun tak lama kemudian ia siuman. Ia mengerang kesakitan, ingin berteriak minta tolong namun bibirnya bukan main perih karena robek. Ada suara gemericik air mengalir, ada bau comberan yang menyengat, dan ada beberapa ekor kadal yang diam melongo memperhatikan Tarjimin meregang nyawa! Dalam hitungan menit ramai-ramai orang coba menolong, tapi yang lain mengambil dompet, menguras isi dashboardserta benda berharga apa saja yang ada di dalam mobil. . . . .!
Kabar kecelakaan itu cepat menyebar, lengkap dengan keterangan merek dan warna mobil serta nomor polisinya. Mengetahui hal itu Aswina Prahara -si penyanyi dangdut heboh dari kampung ke kampung- sangat kaget dan bingung, sebab sebagai pemilik mobil tak urung ia bakal ikut berurusan dengan polisi. Namun bersamaan dengan itu hatinya lega. Ia terbebas dari ketergantungan pada Tarjimin, alias Kadal yang suka ngadalin itu. Sebab ia pun sudah punya cowok lain yang jauh lebih ganteng dan bertanggungjawab, dan menunggu giliran. Nama pacar barunya itu Bob Walijo, seorang pemain keyboard bertubuh raksasa yang populer dipanggil si Kampret, bukan Kebo apalagi Kodok!***
Bandung, Â 2 Februari 2017
Tulisan sebelumnya:Â
- langkah-kaki-mengenali-toleransi
- bohlam-lampu-dan-kelopak-mata
- lawakan-yang-norak-dan-sindiran-pada-dunia-politik
- /pendongeng-di-dasar-sumur
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H