Mohon tunggu...
Sugiyanto Hadi Prayitno
Sugiyanto Hadi Prayitno Mohon Tunggu... Penulis - Lahir di Ampel, Boyolali, Jateng. Sarjana Publisistik UGM, lulus 1982. Pensiunan Pegawai TVRi tahun 2013.

Pensiunan PNS, penulis fiksi. Menulis untuk merawat ingatan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Dialog Kecil tentang Muhammad

13 Desember 2016   00:38 Diperbarui: 13 Desember 2016   15:53 126
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seorang guru mengaji bertanya kepada beberapa santrinya pada awal pertemuan sesudah sholat maghrib berjamaah di Masjid Al Furqon pada sebuah komplek perumahan.

“Siapa diantara kalian yang kenal dengan Muhammad?”

Belasan santri itu, lelaki-perempuan, mengacungkan jari telunjuknya tinggi-tinggi. “Saya, Pak!” ucap anak-anak serempak. Agaknya tidak ada satu pun yang mau dicap malas dan bodoh.

Pak Guru Ngaji tahu persis ke arah mana anak-anak akan menjawab pertanyaannya, namun bukan itu yang hendak ia tanyakan. “Ini bukan tentang rasul dan junjungan kita sebagai muslim-muslimah. Bukan manusia mulia yang membawa agama ‘rahmatan lil alamin’. . . .  .!”

“Lalu siapa, Pak?” tanya Lastami mendahului yang lain.

Pak Guru tersenyum, dan memperhatikan para santrinya berpikir keras. “Perhatikan di sekitar kita, bacalah koran dan nonton berita televisi. Betapa banyak nama Muhammad yang hanya meminjam nama tanpa penyadari betapa tinggi hakikat nama itu. Mereka menjadi kriminal, pencoleng, penjudi, pemabuk, maksiat, dan bahkan menjadi penista agama yang nyata. . .  .!”

“Lalu bagaimana mestinya memberikan nama pada seseorang, Pak?” tanya Wiryawan kemudian.

“Nah, itu pertanyaan cerdas dan futuristik. Setiap calon orang tua haruslah berpikir bagaimana memberi nama anaknya nanti. Satu hal yang harus diingat, bukan karena pilihan nama besar maka seorang anak kemudian tumbuh menjadi pribadi yang berakhlak mulia. Sebaliknya karena pendidikan, lingkungan, bimbingan orangtualah penyebabnya. Sesederhana apapun nama seseorang kalau perilaku dan akhlaknya mulia insya Allah tak akan ada orang yang mencemooh an menghina. . . . .!” ucap Pak Guru Mengaji seraya menutup dialog pembuka, kemudian memulai pelajaran mengaji. Anak-anak yang berusia setingkat SMP dan SMA di kampung itu dibiasakan melakukan dialog kecil untuk menggugah wawasan dan perhatian mereka akan persoalan hidup sehari-hari!

***

Masdi dengan Mat Sakri berkawan karib sejak dari kampung, tak jarang keduanya saling menunjukkan keunggulan mereka dalam berislam. Mereka luluan SMK dan sudah bekerja sebagai wiraswasta. Masdi sebagai penjual ayam goreng setiap sore hingga malam di teras toko kelontong Babah Liong, sedangkan Mas Sakri menjadi  penjual kain batik yang mangkal dari pagi hingga petang di kaki-lima dekat Pasar Anyar.

“Tunjukkan padaku dimana kekuranganku dalam berislam?” ucap Masdi suatu malam sambil menunggu pesanan dua potong ayam, tahu dan tempe yang sedang digoreng. “Kamu ‘kan beberapa kali lewat di tempatku berdagang. Kamu melihat caraku menawarkan dagangan, bahkan tahu persis bagaimana caraku mengambil keuntungan. . . . .!”

Mat Sakri duduk di sebelah Masdi. Dua orang karyawan membantu melayani pembeli. Sehingga Mas Sakri tidak terlalu repot.  “Gampang sekali. Kamu tidak segera meninggalkan daganganmu ketika adzan sholat Dhuhur dan Ashar dikumandangkan. . . . .!”

Masdi terbelalak. Ia tidak menyangka Mas Sakri memperhatikan sekali hal itu. Padahal ia akan menunjukkan berbagai sunah nabi yang sudah dilakukannya: memanjangkan janggut, berbaju koko panjang, memendekkan ujung celana, menggunakan siwak. . . . . .!

“Untuk setahun ini sunah nabi itu memang kuabaikan. Kami punya bayi mungil. Isteriku tidak mungkin ikut berjualan. Sementara letak masjid cukup jauh dari. . . . . .!” jawab Masdi dengan agak malu. “Apakah kamu melakukan seperti apa yang kamu tanyakan padaku?”

“Tentu saja!” jawab Mat Sakri. “Sejak awal berjualan kami sudah punya cara jitu agar aman meninggalkan warung ini untuk pergi ke masjid di seberang jalan. Jelang maghrib siapkan lima sampai sepuluh porsi makan ayam, nasi, sambal dan lalabannya. Saat iqamah kami bergegas. Ada beberapa tulisan kecil yang dapat dibaca pembeli: silahkan makan, bayar sesuai daftar harga, tinggalkan. Mohon maaf, kami sedang menunaikan sholat berjamah di masjid. . . . .!”

“Oh, begitu. . . . .!”

“Ingatlah pada Muhammad. Beliau mengajari kita bagaimana cara menghargai waktu, yaitu dengan melakukan segala sesuatu tepat waktu dan tidak menunda-nunda!”

Masdi menerima pesanannya untuk dibawa pulang. Agak canggung, namun ia tidak merasa dipermalukan. Dalam kehidupan muamalah dan ibadah, tak jarang celah lebar terbuka. Dan itu mestinya menjadi ladang amal bagi orang lain yang ikhlas mengingatkan. Agak bergegas Masdi mengayuh sepeda onthelnya, isteri dan tiga anaknya sudah menunggu. Ia berpikir keras bagaimana supaya ia pun dapat melaksanakan sholat berjamaah Dhuhur dan Ashar kalaupun isterinya belum dapat ikut berjualan.

***

Setinggi apapun derajat Muhammad, beliau tetaplah manusia biasa. Seperti manusia lain yang sering salah dan alpa. Muhamad bukan tidak pernah mendapat teguran Allah karena kesalahannya. Dan seketika itu Muhammad menyadari, lalu minta ampun dan memperbaiki sikap-tutur kata maupun perbuatannya.

“Itu sebabnya kita tidak perlu berkecil hati kalau pernah berbuat salah dan dosa. Ampunan Allah sangat besar melebihi apapun bila seseorang mau bertobat. Jangan terjerumus oleh godaan setan bahwa sekali berbuat salah maka tidak ada ampun sama sekali. Bertobat dengan sungguh-sungguh dan tidak mengulangi perbuatan buruk sebelum embusan nafas terakhir adalah kuncinya.. . . . .!” ujar Bu Muslihah kepada tiga putrinya yang beranjak dewasa.

Ketiganya mengangguk-angguk membenarkan. Bu Muslihah menjadi ‘single parent’ sejak lima belas tahun lalu, sejak suaminya tewas dalam sebuah kecelakaan lalu-lintas. Dalam berbagai kesempatan ia menasehati ketiga anaknya untuk tekun, iklhas, tabah, dan bekerja keras sesuai tuntunan agama. “Rasulullah menjadi teladan bagi setiap muslim dan muslimah. Banyak mukjizat yang beliau bawa dan perlihatkan selama hidup beliau. Sebegitu tinggi dan mulia akhlak beliau namun kita haram menjadikannya lebih dari sekadar rasul. Bandingkan dengan rasul dan nabi lain yang sedemikian rupa ditempatkan oleh umat mereka, bahkan ada yang disejajarkan dengan Tuhan. . . . . . .!”

Ibu dan tiga anak itu memulai makan seperti diajarkan Rasulullah. Mengambil nasi dan lauk secukupnya. Hanya menggunakan tangan kanan, tanpa sendok. Menyuap pelan, mengunyah dengan hitungan lebih banyak. Tidak bicara selama makan, berhenti sebelum kenyang, dan mengakhirinya dengan minum air putih.

***

“Alhamdulillah kita masih berislam, meski tentu tidak sesempurna keislamaan para sahabat dan masyarakat muslim ketika Muhammad masih ada.. . . . .!” ucap Ustad Ali dengan suara rendah sebelum memulai tausyiahnya yang bernuansa optimisme dan ajakan untuk saling mengingatkan dan menasehati. Acara Maulid Nabi dimulai dengan mengaji, sambutan ketua panitia, dilanjutkan sholawatan, dan dilanjutkan dengan tausyiah.

“Empat belas abad sudah ajaran Muhammad hadir ditengah kaum muslimin. Dengan kitab suci berbahasa Arab, Islam menyebar dari satu benua ke benua lain, dari satu bangsa ke bangsa lain, dari satu bahasa ke bahasa lain. Berbagai tulisan awal keislaman tentang  tafsir dan hadis masih dapat dilacak dengan mudah.

Demikianpun diantara yang telah terdokumentasi dengan baik, ada saja yang kurang baik. Diantara buku-buku yang saling dukung dan membenarkan, banyak pula buku yang bertentangan dan saling menyalahkan. Terlebih kemudian muncul beberapa aliran, mashab, organisasi politik, kebijakan negara serta sekadar organisasi massa yang saling mencari keunggulan diri, kebenaran diri, sambil tanpa sadar menyalahkan yang lain. Semua itu ditambah lagi dengan buku-buku para orientalis yang sengaja atau tidak mengaburkan, membelokkan bahkan menyesatkan.. . . .”

Jamaah mengangguk-angguk. Hidangan makanan kecil dalam kotak dos diedarkan, disertai minuman air kemasan. Keheningan terganggu sejenak, ada celoteh dan bisikan. Lalu suara mulut bergoyang-goyang. Pak Ustad mendapatkan kesempatan untuk meneguk air tehnya dari gelas, sebelum melanjutkan tausyiahnya.

“Maka jadilah Islam yang kita kenal sekarang. Orang cenderung mudah dan latah mencari perbedaannya, dan bersamaan itu lupa serta melupakan persamaan diantara kita. Kalau kita kembali meyakini pada hakikat Muhammad dengan kemuliaan akhlak dan ajarannya yang sempurna, maka kenapakah kini kita lebih pandai bertikai, bermusuhan, dan saling menghancurkan justru atas nama Islam dan Muhammad. . . . .?”

“Kita saling mengklaim kebenaran Islam dan Muhammad kita masing-masing, Pak?” celetuk Haji Dadang bertanya.

“Ya, tepat sekali. Pertanyaan itu tentu tertuju kepada para pimpinan umat. Merekalah yang mampu menggerakan sesama Islam untuk saling berhadapan atau sebaliknya berangkulan. Lihatlah gambar dan beritanya ke Timur Tengah sana, sebagai tempat ke mana selama ini keislaman kita berkiblat. Mereka saling bantai, saling lumatkan dan hancurkan. Lepas dari semua persoalan domestik maupun politik antar negara, begitulah kenyataannya. Apakah mereka masih meneladani Muhammad?”

Hujan di luar masjid menderas. Entah kenapa sound system mendadak terganggu. Pak Ustad melanjutkan ceramahnya, namun suasananya sudah berubah sama sekali. Sesekali halilitar seperti merobek langit dengan kilat dan guntur yang menggelegar. Tak lama kemudian aliran listrik mendadak padam. Gulita. Segera batang-batang lilin dinyalakan. Beruntung pengurus masjid punya megaphone. Maka tausyiah Ustad Ali ditengah suasana hujan lebat dan gangguan halilintar itu dilanjutkan dengan menggunakan megaphone. . . . . !***

Bandung, 13 Desember 2016/13 Rabiulawal 1438

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun