Ibu dan tiga anak itu memulai makan seperti diajarkan Rasulullah. Mengambil nasi dan lauk secukupnya. Hanya menggunakan tangan kanan, tanpa sendok. Menyuap pelan, mengunyah dengan hitungan lebih banyak. Tidak bicara selama makan, berhenti sebelum kenyang, dan mengakhirinya dengan minum air putih.
***
“Alhamdulillah kita masih berislam, meski tentu tidak sesempurna keislamaan para sahabat dan masyarakat muslim ketika Muhammad masih ada.. . . . .!” ucap Ustad Ali dengan suara rendah sebelum memulai tausyiahnya yang bernuansa optimisme dan ajakan untuk saling mengingatkan dan menasehati. Acara Maulid Nabi dimulai dengan mengaji, sambutan ketua panitia, dilanjutkan sholawatan, dan dilanjutkan dengan tausyiah.
“Empat belas abad sudah ajaran Muhammad hadir ditengah kaum muslimin. Dengan kitab suci berbahasa Arab, Islam menyebar dari satu benua ke benua lain, dari satu bangsa ke bangsa lain, dari satu bahasa ke bahasa lain. Berbagai tulisan awal keislaman tentang tafsir dan hadis masih dapat dilacak dengan mudah.
Demikianpun diantara yang telah terdokumentasi dengan baik, ada saja yang kurang baik. Diantara buku-buku yang saling dukung dan membenarkan, banyak pula buku yang bertentangan dan saling menyalahkan. Terlebih kemudian muncul beberapa aliran, mashab, organisasi politik, kebijakan negara serta sekadar organisasi massa yang saling mencari keunggulan diri, kebenaran diri, sambil tanpa sadar menyalahkan yang lain. Semua itu ditambah lagi dengan buku-buku para orientalis yang sengaja atau tidak mengaburkan, membelokkan bahkan menyesatkan.. . . .”
Jamaah mengangguk-angguk. Hidangan makanan kecil dalam kotak dos diedarkan, disertai minuman air kemasan. Keheningan terganggu sejenak, ada celoteh dan bisikan. Lalu suara mulut bergoyang-goyang. Pak Ustad mendapatkan kesempatan untuk meneguk air tehnya dari gelas, sebelum melanjutkan tausyiahnya.
“Maka jadilah Islam yang kita kenal sekarang. Orang cenderung mudah dan latah mencari perbedaannya, dan bersamaan itu lupa serta melupakan persamaan diantara kita. Kalau kita kembali meyakini pada hakikat Muhammad dengan kemuliaan akhlak dan ajarannya yang sempurna, maka kenapakah kini kita lebih pandai bertikai, bermusuhan, dan saling menghancurkan justru atas nama Islam dan Muhammad. . . . .?”
“Kita saling mengklaim kebenaran Islam dan Muhammad kita masing-masing, Pak?” celetuk Haji Dadang bertanya.
“Ya, tepat sekali. Pertanyaan itu tentu tertuju kepada para pimpinan umat. Merekalah yang mampu menggerakan sesama Islam untuk saling berhadapan atau sebaliknya berangkulan. Lihatlah gambar dan beritanya ke Timur Tengah sana, sebagai tempat ke mana selama ini keislaman kita berkiblat. Mereka saling bantai, saling lumatkan dan hancurkan. Lepas dari semua persoalan domestik maupun politik antar negara, begitulah kenyataannya. Apakah mereka masih meneladani Muhammad?”
Hujan di luar masjid menderas. Entah kenapa sound system mendadak terganggu. Pak Ustad melanjutkan ceramahnya, namun suasananya sudah berubah sama sekali. Sesekali halilitar seperti merobek langit dengan kilat dan guntur yang menggelegar. Tak lama kemudian aliran listrik mendadak padam. Gulita. Segera batang-batang lilin dinyalakan. Beruntung pengurus masjid punya megaphone. Maka tausyiah Ustad Ali ditengah suasana hujan lebat dan gangguan halilintar itu dilanjutkan dengan menggunakan megaphone. . . . . !***
Bandung, 13 Desember 2016/13 Rabiulawal 1438