Terkait dengan keselematan pengguna jalan –jalan kaki maupun berkendaraan- kiranya soal pohon ini pun mesti diwaspadai. Sebab terlihat sejumlah pohon dipangkas akar-akar yang kemukginan mengganggu pembangunan gorong-gorong sehingga bila angin besar bertiup bersamaan dengan hujan lebat, bukan tak mungkin pohon itu roboh.
Lalu-lintas Terganggu
Mungkin hanya perbaikan jalan dan pengaspalan yang dilakukan pada saat lalu-lintas sedang sepi (Jelang tengah malam hingga pagi). Namun pembangunan lain yang juga berkaitan dengan jalan dilakukan pada saat jam kerja. Itu berarti jam sibuk. Jam-jam penuh aktivitas ekonomi, pendidikan, pemerintahan, dan lainnya.
Kondisi itu menciptakan situasi untuk saling menyalahkan antara kepentingan pembangunan dengan pengguna: siapa mengganggu siapa, siapa yang harus didahulukan, dan  siapa yang harus bertanggungjawab. Ungkapan harap maklum, harap bersabar, dan mohon maaf, tentu tak kurang dilontarkan, namun sampai kapan.
Selain dilakukan  siang hari, lama pembangunan terasa lama. Dan semua itu terasa angat mengganggu!
Perhatian, Adipura
Permasalan di atas perlu perhatian serius mengingat Kota Bandung menjadi tempat tujuan berbagai kepentingan kehidupan masyrakat di Bandung Raya. Ratusan ribu orang pendatang dari seputar Bandung, menggunakan angkutan umum, kendaraan pribadi, dan sepeda motor; ditambah lagi puluhan ribu orang dari kota-kota lain khususnya dari Jadebotabek, bakal terganggu bila Kota Bandung ditimpa hujan.
Namun sudah barang tentu anjuran untuk tidak datang ke kota Bandung pada waktu hujan itu dengan kekecualian, yaitu bila pendatang sudah menyiapkan perahu karet, rakit, papan seluncur, atau sekadar pelampung; bahkan juga alat snorkling dan menyelam. Anggaplah kali ini datang ke lokasi wisata arung jeram! Kota Bandung dengan banjir cileuncanya pasti menawarkan atraksi menarik manakala setiap pendatang sudah bersiap dengan perangkat wisata air yang memadai.
Tinggal pilih saja lokasinya, di Jalan Terusan Pasteur, di Jalan Pagarsih, atau di Jalan Cicalengka. Untuk sementara lokasi-lokasi lainnya belum cukup memadai, karena itu tidak direkomentasikan.
Penutup Â
Siapapun Kepala Daerahnya (Walikota, Bupati, dan Gubernur) kiranya persoalan Kota Bandung dengan banjir cileuncang-nya mestilah diprioritaskan penanganannya. Kurang baguslah kalau menyitir sindiran Pak Wagub -yang bintang iklan dan film/sinetron itu- ketika  mengatakan. . . ‘habis terima Piala Citra. . .ehh, Piala Adipura kok kebanjiran. . . . . .!’ (2) Apa kata dunia (tanya Nagabonar yang diperankan Pak Wagub -kala masih seniman murni- dengan latahnya)?
Beruntung di Kantor Pusat Pemerintahan Provinsi Jawa Barat, rumah dinas Gubernur, dan Kantor Pemerintahan Walikota Bandung sistem pembuangan airnya sangat. Gorong-gorong di seputar beberapa kantor pemerintahan itu buatan penjajah Belanda berpuluh-puluh tahun lalu. Dan sekarang, sekadar meniru apa yang sudah ada pun banyak saja halangannya. Maka bukan hanya Jakarta yang semula bernama Batavia ditimpa banjir, Bandung yang ‘Parisj van Java’ pun tak mau kalah. Lalu, apa kata dunia? Entah!***
Sekemirung, 12 November 2016/12 Safar 1438