“Kopi dan cinta menyatukan kalian, begitu heroik. Tapi politik tidak. . . ..!” ujar Sulfana dengan perasaan sedih.
***
Tambah satu persoalan lagi. Terus bertambah persoalan dan orang-orang mulai saling menyalahkan, menuding, dan membantai kalau perlu. Tidak ada yang mau dan berani menuding diri sendiri. Semua persoalan di sekeliling dan bahkan yang menyentuh hidup seseorang tidak diakui sebagai persoalannya.
Itu yang terjadi pada Bung Gofar. Ia lebih mudah menuduh siapapun yang lain sebagai pihak yang salah!
“Pemerintah salah memprediksi perkembangan ekonomi kita. Nasib pengusaha yang sangat tergantung pada migas mengenaskan, bahkan nyaris ambruk. Banyak diantara mereka yang tiba-tiba menjadi pesakitan, menjadi penghuni rumah sakit jiwa, bahkan banyak yang menyerah pada obat-obatan terlarang. . . .!” seru Bung Gofar dengan bibir bergetar menahan amarah. Ia terbaring lemah di ruang VIP sebuah rumah sakit megah.
Kemarin belasan cangkir kopi diminumnya. Kondisi tubuh yang tidak sehat, makan tidak teratur, kurang tidur, dan terlebih tekanan pekerjaan membuatnya memilih kopi sebagai pelarian. Semalam ia bersama beberapa teman-pengusaha minum kopi di kafe ‘Revolusi’. Paginya, mendadak Bung Gofar jatuh sakit dan harus diusung ke rumah sakit. Jantungnya bermasalah.
***
Marjuki meletakkan koran yang tadi digunakan untuk penutup wajah dalam tidur sesaat. Ketika pergantian jaga ia sempat sholat subuh dulu sebelum pulang. Rumahnya berjarak lima kilometer. Ia perlahan hati-hati mengendarai sepeda motor butut.
Di rumah sudah tersedia sarapan paginya. Murti menyiapkan segelas kopi panas, roti lapis panggang, dan sebatang rokok filter dengan koreknya. Perempuan yang dinikahinya tujuh tahun lalu dan telah memberikan dua orang anak itu bercerita persoalan hidup tetangganya yang bernama Sulfana.
“Sulfana batal nikah!”
“Kenapa? Calon suaminya lari, atau selingkuh?” tanya Marjuki menduga-duga.