Membuat novel, drama, skenario film, dongeng, dan cerita pendek maupun puisi, kelak dikerjakan oleh semacam pabrik. Ya, pabrik kata-kata tentu saja namanya.
Para pekerjanya orang-orang yang sangat berkompeten dengan kata-kata, para sastrawan dan jurnalis andal, kampiun, dan piawai luar-dalam, juga para lulusan jurusan bahasa. Selain itu diperkuat para lulusan jurusan teater, penyutradaraan, jurusan komunikasi, desainer grafis, ahli kepustakaan, ahli bahasa, dan berbagai spesialisasi seni maupun kebahasaan lain dan gaya hidup.
“Carilah kebenaran sampai ke ujung dunia. Jangan gampang puas, terlebih mudah tertipu dengan merasa diri paling benar.. . . . . .!” ucap Marli serius, suaranya dibuat sengau denganmata melotot dan kedua tangan digerakkan serupa menghentak-hentak kata demi kata. Ia sedang memerankan tokoh Romanov, seorang lelaki yang diceritakan terus berselingkuh sepanjang hidupnya. Ia sedang menasehati diri sendiri.
“Mudahlah, Manov, kalau kamu terus memikirkan kesalahan diri karena tak mampu menahan diri untuk selalu berselingkuh, lama-lama kamu akan gila sendiri!” geram Luli yang berperan sebagai malaikat pencabut nyawa. “Kamu tinggal memutuskan kapan hari baik untuk berpisah dengan nyawamu. . . . . .!”
“Mati?” sergah Romanov sambil berpikir keras ‘alangkah mudah dan murahnya harga sebuah nyawa’. Begitu cepatnya pertambahan jumlah penduduk sehingga upaya menekannya pun dilakukan dengan semua cara.
Cerita mengalir penuh intrik dan kejutan, spontan, dan cepat.
***
Mereka bekerja dalam banyak ruangan besar dan bertingkat-tingkat, yang disebut pabrik. Semua bentuk peralatan pendukung disiapkan lengkap. Ada komputer canggih dan internet, studio audio-visual, perangkat pengubah suara dan percakapan mupun efek suara menjadi teks. Ada pula telepon, video layar lebar, dan segenap perabotan yang diperlukan dalam cerita. Tentu tiap jenis buku –cetak dan terutama digital- menggunakan perangkat dan peralatan yang spesifik dan mungkin saja berbeda.
“Sudah ada seribu tiga belas judul buku tentang riba. Ini buku berikutnya. Kita akan menciptakan dunia tanpa riba!” ucap Bang Baridin seraya membuka kesempatan untuk berdiskusi. “Cerita tentang dasar hukum positif dan hukum agama, cara mempraktekannya dan kegunaan maksimal, sudah lengkap. Kini tinggal memotivasi untuk memulai. . . . .!”
***
Mesin-mesin cetak canggih ada pada bagian lain areal pabrik. Alat-alat audio visual di studio yang berbeda, sama lengkap dan canggih pula. Tidak ada bising atau sekedar suara gaduh. Semua mekanisme kerja bergerak dua puluh empat jam sehari, tujuh hari seminggu, tiga puluh hari sebulan, sesuai kapasitas terpasang dengan tenang, hening, diam-diam, dan tanpa suara.
Namanya juga pabrik, maka pekerjaan dilakukan secara rombongan dan borongan. Satu orang menawarkan ide, yang lain menerima atau menolak, lalu puluhan orang memperkaya dan memperdalam variasi ide. Tim yang lain langsung menyiapkan data dan fakta pendukung. Selebihnya membuat ilustrasi dan foto-foto, layout, desain cover dan isi buku, membuat video clip, mendesain foto, hingga ke soal pilihan jenis dan ukuran huruf dan warna, kualitas kertas, dan entah apa lagi.
Untuk novel, cerpen dan drama sudah disiapkan aneka karakter yang akan memvariasikan dialog langsung, suara hati, ekspresi, warna dan nada suara dan gerak tubuh, yang disesuaikan dengan alur cerita yang hendak dikembangkan.
Garis besar cerita sudah dibuat sangat matematis, ilmiah, dan modern. Tiap bab ada kejutan khusus yang dibuat spontan oleh salah satu karakter. Ada sisi edukasi dan motivasi. Dalang yang bertindak sebagai pembuat narasi mengawali cerita, dilanjutkan dialog, kemudian peragaan adegan demi adegan, diselingi narasi lagi, dialog, komentar pada setting waktu-lokasi- dan seterusnya. Tiap bab terdiri atas lima belas hingga dua puluh halaman. Kalau dimainkan, dengan improvisasi dan dua kali pengulangan, diperlukan waktu satu jam. Jadi satu buku yang terdiri atas empat puluh bab memerlukan empat puluh jam kerja, atau seminggu hari kerja dari Senin hingga Jum’at.
Ketika kerangka cerita lengkap, karakter dan pemerannya siap, dan semua personil di belakang peralatan siap beraksi, maka sutradara akan segera memerintahkan untuk membuat susunan bab per bab. Buku setebal lima ratus halaman diselesaikan lebih cepat menjadi dua sampai tiga hari saja.
***
Pabrik itu memiliki hingga tiga puluh tim, untuk tiga puluh jenis buku berbeda. Maka dalam dua sampai tiga hari telah siap diterbitkan tiga puluh buku baru. Pabrik itu berdiri pada setiap kota provinsi, dengan jumlah pekerja ribuan orang banyaknya.
Minggu depan buku itu sudah rapi terusun di rak yang mencolok, pada setiap toko buku terkenal di kota-kota provinsi. Minggu berikutnya ada di toko buku di kota dan kabupaten. Masyarakat berebut membeli, dan sangat takut akan kehabisan. Sebab dari buku-buku itu tersurat gamblang kemana arah politik diperlihatkan, juga gerak nilai saham, kebijakan ekonomi, mimbar agama dengan aneka peristiwa kearifan beberapa umatnya, hingga ke soal rencana kenaikan harga aneka barang sembilan bahan pokok. Lengkap dan sangat perlu. Bulan ketiga buku itu sudah menjadi barang rongsok yang siap didaur ulang.
“Ayo beli buku baru, Nak! Kita harus banyak membaca untuk berpikir dan bertindak positif dan optimistis. Kita tidak boleh kembali pada masa lalu ketika banyak orang suka bicara, malas membaca, dan bersikap agamis untuk menutupi tindak korupsi besar-besaran yang mereka lakukan. . . . .!” ucap Bu Hanisah kepada putrinya yang masih duduk di kelas dua SD ketika menjemput di sekolah.
Lustri mengangguk, dan mengikuti langkah ibunya ke toko buku. Di sana ia bertemu dengan banyak temannya.
***
Di negeri itu membaca menunjukkan derajat seseorang. Media lain semisal televisi hanya ditonton oleh balita, pembantu rumah tangga, orang-orang buta huruf, para jompo, dan para gelandangan di rumah-rumah penampungan mereka. Sedangkan warga terhomat, termasuk para petani, pedagang, pekerja pabrik, karyawan dan pegawai pemerintah tidak tertarik pada siaran televisi. Mereka membaca koran dan aneka jenis buku, termasuk novel yang diproduksi serba cepat, mudah, bermutu dan kaya gizi edukasi dan motivasi, teknologi dan politik buatan pabrik kata-kata.
Di negeri itu tidak banyak orang yang gemar berbicara, apalagi berghibah. Mereka sadar betul bahwa berbicara menghabiskan banyak energi dan kecerdasan. Banyak berbicara cenderung bohong dan sombong. Berbicara hanya alat untuk menipu dan korupsi. Maka orang cenderung diam dan membisu. Hanya para mandor, komandan, pemimpin dan pengkhotbah yang masih berbicara, itupun sangat hati-hati, cermat dan terbatas.
Namun. . . . . . ahya, entah kapan pabrik kata-kata itu akan terwujud. Mungkin kelak ketika negeri ini sejahtera karena para koruptornya telah dibebaskan dan diberi jalan lurus ke arah tiang gantung, ke lapangan terbuka untuk pemancungan, atau ke hutan untuk di tembak mati! Tiap koruptor diberi kebebasan terakhir, yaitu kebebasan untuk memilih cara untuk mati: gantung, pancung, atau didor sampai mati! Itulah sebabnya satu-satunya buku yang wajib baca dan terus dicetak ulang puluhan ribu eksemplar kelak berjudul ‘Hindari Bunuh Diri dengan Korupsi!’***
Bandung-Bekasi, November 2014 – Oktober 2016
Simak juga cerpen sebelumnya :
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H