Darsiwi membuka ranselnya tanpa berkata apapun. Ia mengeluarkan aneka kaos, jubah, jaket almamater, dan atribut lain. Itu hasil dari ikut demo partai politik, demo mahasiswa, demo buruh, bahkan demo organisasi keagamaan yang garang itu. Darsiwi mengeluarkan kliping koran berisi foto-fotonya yang sedang beraksi dalam demo!
“Kalau ada tetangga yang bertanya kerjaku apa, tolong jawab kerja Darsiwi jadi pendemo ya, Mak. Pendemo di ibukota! Hebat ‘kan? Itu pekerjaan yang sangat mulia karena membela kepentingan rakyat. Jangan lupa!” ucap Darsiwi malam itu sebelum tidur.
“Gampang itu. Tapi bagaimana rencanamu mendekati Fatma. Kalau tidak cepat kamu ikat, ia bakal terbang dengan perjaka lain. . . . . .!” ujar Mak Sudrun mengingatkan,
“Di kota yang lebih cantik dari Fatma banyak, Jangan menjadi pikiran lagi!”
Bangun pagi-pagi, Mak Sudrun kaget sebab tidak mendapati anaknya di rumah. Darsiwi raib. Maka seketika pecah tangisnya. Meraung-raung membangunkan ttidur etangga kiri-kanan rumah. Hanya secarik kertas ditinggalkan di meja depan. Itu surat dari Darsiwi. “Simpanlah semua atribut demo itu, Mak. Simpan di atas langit-langit rumah. Kapan-kapan nanti kuambil lagi. Kini anakmu ini harus pergi jauh. Petugas keamanan mencari-cariku. Sebab aku dituduh sebagai salah satu provokator dan dalang kerusuhan pada demo terakhir di depan Istana Negara. Maafku aku, Mak. Aku pamit. . . . . .! Sungkem dan cium kakimu, Darsiwi!”***
Bandung, 25 Oktober 2016/24 Muharam 1438 H
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H