***
Bulan ketiga Darsiiwi hampir menyerah, sebuah harapan datang. Pagi-pagi ia sudah keluar ke jalan. Ia mendapati banyak orang berkumpul di dekat sebuah bus karyawan.
“Mumpung kosong, ayo ikut saja, Mas. . . . .!” teriak seseorang sambil mendorong Darsiwi masuk ke dalam bus.
“Mau kemana ini?” celetuk Darsiwi bingung.
“Istana. Demo. Kita sedang memperjuangkan nasib rakyat banyak. Jangan sampai nasib kita terinjak-injak tanpa melakukan perlawanan. . . .!” ujar si Brewok, yang rupanya menjadi komandan demo, dengan bersemangat.
Dalam perjalanan ke lokasi demo, dibagikan kaos dan ikat kepala untuk dikenakan, lalu spanduk dan bendera identitas pendemo. Juga kertas selebaran berisi tulisan yel-yel dan garis besar isi orasi yang menjadi tuntutan.
Demo! Ya itulah kali pertama Darsiwi mengenal dunia kerja yang aneh, namun penuh tantangan dan keramaian. Meski hanya dibayar lima puluh ribu rupiah sekali demo. Ia mendapat kaos dan atribut lain. Juga dapat nasi bungkus, dan layanan perjalanan menuju lokasi demo.
***
Satu tahun sudah Darsiwi merantau. Dan tiba saatnya pulang kampung. Meski tak banyak uang ia memaksankan diri. Ia merasa sudah sangat rindu pada emaknya. Ia tidak membawa oleh-oleh apapun kecuali hanya sekeranjang cerita.
“Aku memang gagal menjadi pegawai kantoran. Tapi pekerjaanku kini tidak kalah mulai. Mak . . . . !” Darsiwi memulai ceritanya ketika selesai makan dan minum yang disediakan Mak Sudrun.
“Asal bukan menjadi pencoleng, Emak setuju saja. . . .!” jawab Mak Sudrun enteng.