Mohon tunggu...
Sugiyanto Hadi Prayitno
Sugiyanto Hadi Prayitno Mohon Tunggu... Penulis - Lahir di Ampel, Boyolali, Jateng. Sarjana Publisistik UGM, lulus 1982. Pensiunan Pegawai TVRi tahun 2013.

Pensiunan PNS, penulis fiksi. Menulis untuk merawat ingatan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen | Bang Frederiko pun Berkampanye

20 Oktober 2016   11:37 Diperbarui: 13 Juni 2019   08:07 114
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ini tugas penting. Tidak bisa ditolak dengan alasan apapun. Negara membutuhkan pengorbanan seorang warganya yang dikenal kaya, enerjik, dan cerdas. Siapa lagi yang dimaksud kalau bukan Bang Frederiko.

Lelaki itu memantapkan diri untuk menjadi calon Gubernur. Bukan main-main, gubernur. Ia berpasangan dengan Mas Jambul, calon wakil gubernur. Bang Frederiko hanya lulus SD. Bukan aktivis partai politik, dan tanpa pengalaman berpolitik sama sekali. Namun ia mengasah banyak kelebihan, salah satunya yaitu nekat, berani, dan tidak takut malu. Dengan kelebihannya itu semua syarat pencalonan dapat dipenuhinya dengan baik.

Dan nasib membawanya menjadi calon gubernur di Provinsi Banyumili. Itu sebuah daerah di kawasan pesisir yang kaya air, baik air laut, air payau, maupun air gunung. Maka tak heran di sana banyak tambak udang dan bandeng, dekat pesisir untuk kawasan wisata, serta sawah-ladang yang menghijau subur.

Setelah melewati masa pendaftaran, pemeriksaan kesehatan dan berbagai ketentuan lain sebagai calon independen, tibalah masa kampanye.

***

Makna kampanye itu gampangnya cara mempengaruhi minat seseorang, sekumpulan orang, dan kalau boleh semua orang. Tujuannya agar mereka tertarik, terpikat, terpana, dan lalu menentukan pilihannya. Yang dipilih pastilah  salah satu pasangan calon yang dinilai paling pas, akurat, signifikan dan kata lain serupa itu untuk menjadi pasangan pemimpin pada satu daerah.

Pasangan lain boleh saja memandang enteng, melihat dengan sebelah mata, dan bahkan melecehkan kemampuan Bang Frederiko. Mereka hanya belum tahu saja.

Bang Frederiko pernah menjadi buruh tani, kuli bangunan, petani sayur-mayur, dan juga menjadi sopir angkot. Pekerjaan yang sedikit bergengsi, ia pernah menjadi sopir pribadi seorang politikus tingkat lokal. Lalu menjadi makelar tanah,  guru olah vokal, dan sales perusahaan asuransi. Membujuk dengan sedikit tipuan dan dusta tidak masalah baginya. Asalkan niatnya baik, tidak menjerumuskan. Dengan semua itu ia merasa cukup mumpuni. Ia memastikan pasangan calon gubernur dan wakil gubernur lain tidak punya pengalaman sekaya dirinya. Ditambah daya kritisnya, ia merasa cukup canggih untuk menggaet banyak suara.

Begitu diungkapkannya dalam banyak kesempatan formal maupun nonformal.

“Bagaimana strategimu dalam berkampanye, Bang Frederiko?” tanya seorang gadis yang mengaku dari suatu media online.

Gadis itu menguntit kemana saja Bang Frederiko berada. Bang Frederiko curiga gadis itu tak lebih dari mata-mata pihak lain untuk menggali kelemahannya.

Maka Bang Frederiko menjawab seenak perutnya. “Saya akan menggunakan pedekatan klasik, yaitu merangkul semua padepokan yang memiliki banyak anggota. Entah itu padepokan pengganda uang, padepokan guru spiritual para artis, maupun padepokan yang melayani urusan menambah keperkasaan pria – kecantikan wanita – kekebalan tubuh, hingga padepokan yang menangani para pecandu narkoba. . . . . hahaha!”

“Aneh ya. Lalu strateginya?” desak si gadis ketika seusai menulis sesuatu di notesnya.

“Strategi itu apa? Taktik, ya?” Bang Frederiko ganti bertanya sambil garuk-garuk kepala. “Oh anu, memberi banyak janji apa saja yang dapat dijanjikan. Buka lapangan pekerjaan banyak-banyak, bikin warung produktif, sekolah dan kesehatan gratis,  sembako gratis, tidak ada penggusuran, tidak ada program apapun yang menyengsarakan rakyat. . . . . .!”

“Strategi apa itu?”

“Strategi untuk menang mutlak! Memenangkan hati rakyat!”

“Tapi bagaimana mewujudkan semua janji dan mimpi itu kalau menang?”

“Itu soal nanti. Kalau sudah menang, semua bisa diatur, semua bisa dipermudah. Bukankah masyarakat kita dikenal sangat santun, penurut, mudah dibohongi dan takut bila digertak. . . . !”

Gadis itu tampak cemberut. Wajahnya kesal dan sebal. “Niatmu salah, Bang Frederiko, jahat dan sadis. Tapi kalau menang, dan kukira akan menang, sungguh tidak mudah mewujudkan logika gila itu. . . . .” ujar si Gadis seraya meninggalkan Bang Frederiko begitu saja.

Rasanya untuk saat ini, kampanye pemenangkan pemilu dan pilkada paling diminati adalah dengan melanggar semua ketentuan serapi dan secermat mungkin agar tidak diketahui umum. Begitu Bang Frederiko mengendus banyak modus kampanye yang pernah dilihatnya. Yang paling gila bahkan ada yang berani membeli harga diri salah seorang petugas pelaksana pemilu, kalau perlu ketuanya. Belilah berapa harganya, dan semua bisa diatur untuk semua tindakan yang melanggar aturan itu.

***

Tidak ada lagi kampanye konvensioanal: mengumpulkan masa, memasang spanduk-baliho-digital printing dan selebaran, bahkan juga tidak ada pawai-konvoi dan arak-arakan yang mengundang aksi tawuran-bentrok dan kerusuhan massal itu. Semua kampanye kali ini dikemas dalam berbagai acara dan program melalui layar tv, siaran radio dan media cetak maupun media online.

Dua minggu kegitan kampanye berlangsung. Tidak ada ingar-bingar di jalan raya, di stadion, di gedung-gedung besar. Semua dipindahkan di studio tv-radio dan tempat lain yang lebih sempit.

Bang Frederiko dan Mas Jambul tidak kesulitan menghadapi lawan-lawannya dalam debat. Mereka juga kompak dalam adu visi-misi, lomba pidato-melawak-menyanyi hingga panco. Tidak terlalu dominan memang. Namun, saat semua hasil penilaian diakamulasi ternyata Bang Frederiko dan Mas Jambul unggul tipis.

***

Kampanye terakhir bentuknya agak aneh, yaitu lomba adu fisik. Bentuknya lari dengan sebelah kaki, berenang dengan sebelah tangan, serta bersepeda dengan sepeda satu roda. Balapan, adu cepat sampai finis. Disiarkan langsung semua media elektronik dan online.

“Ini kampanye untuk apa? Memperlihatkan ketahanan diri agar orang yakin bahwa pasangan cagub dan cawagub yang saling bersaing tidak gampang gugup, bertamina prima, serta trampil berakrobat?” protes Bang Frederiko dengan sengit. 

“Bukan. . . .” jawab Pakdhe Maruto, ketua petugas pelaksana pemilu Gubernur/ Wakil Gubernur Provinsi Banyumili, dengan tanpa ekspresi.

“Lalu untuk apa?”

“Untuk laga pamungkas, semacam grand final. Sebutan asli lomba ini sebenarnya lomba lawak, yaitu mencandai sestiap pasangan cagub/cawagub untuk mengetahui seberapa besar rasa humor tiap pasangan, seberapa konyol, seberapa licik, dan terutama juga seberapa berani mereka mentertawakan diri sendiri.. . . .!”

“Aneh!”

“Seorang calon pemimpin hebat adalah mereka yang tidak gampang disogok, tidak gampang dipuja-puji, dan terutama juga tidak gampang menjual idealisme meski diiming-imingi apapun. . . .!”

“Apakah semua pasangan mendapatkan bocoran latar-belakang kampanye pamungkas ini?” kejar Bang Frederiko penasaran.

“Mendapatkan keterangan yang berbeda namun arahnya sama: memperolok diri sendiri!”

Dan benar saja pelaksanaan kampanye itu mengundang gelak tawa tak habis-habis sepanjang jalan yang dilalui, juga tawa membahana bagi yang menonton layar tv, yang mendengarkan radio, dan yang mendapatkan laporan dari internet. Bukan hanya warga provinsi itu, bahkan rakyat seluruh negeri tergelak hebat  tak henti-henti.

Lima pasangan cagub/cawagub yang berlomba jatuh-bangun, terguling-guling, mandi lumpur, tersuruk di got, dan pakaiannya jadi compang-camping karena robek. Setelah menempuh jarak sepuluh kilo dengan berganti tiga gaya: lari, renang, dan bersepeda, tak urung Bang Frederiko yang menjadi juaranya. Diikuti oleh pasangan yang lain. Sedangkan Mas Jambul melewati garis finish paling akhir dengan wajah pucat-pasi dan tubuh lemas-lungai digotong tandu petugas kesehatan.

***

Kampanye di Provinsi Banyumili berlangsung sukses, dan tiap warga sudah punya pilihan pasti siapa yang akan dicoblos nanti. Sukses karena tidak ada bentrokan gara-gara isu SARA, dan sukses karena semua intrik-taktik-kelicikan dan kecurangan masa lalu tidak dapat dipergunakan lagi.

Sukses, karena semua orang dibuat tertawa lebar, cerah-ceria, riang gembira, terhibur, dan bahkan warga provinsi itu sepakat berpendapat bahwa tidak penting siapa gubernur dan wakil gubernur yang menang kelak, yang penting kampanye jauh dari situasi panas-rusuh-bentrok!***
Bandung, 20 Oktober 2016/19 Muharam 1438

Sumber gambar

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun