Mohon tunggu...
Sugiyanto Hadi Prayitno
Sugiyanto Hadi Prayitno Mohon Tunggu... Penulis - Lahir di Ampel, Boyolali, Jateng. Sarjana Publisistik UGM, lulus 1982. Pensiunan Pegawai TVRi tahun 2013.

Pensiunan PNS, penulis fiksi. Menulis untuk merawat ingatan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Andai Tak Ada Lagi Pungli di Negeri Ini

12 Oktober 2016   01:04 Diperbarui: 14 Oktober 2016   01:05 396
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Istilah pungli kembali populer pada pemberitaan OTT di Kemenhub Jakarta Pusat (11/10/16). Presiden Jokowi yang tersengat oleh peristiwa itu dengan tegas menyatakan “Stop pungli. Berhenti!” dengan nada geram dan ancam. Pungli kependekan dari kata ‘pungutan’ dan ‘liar’. Pungutan itu dilakukan untuk melanggar ketentuan, untuk mencari gampang, dan untuk keuntungan kedua belah pihak  (oknum petugas dan oknum pengguna pelayanan) meski merugikan negara.

Seorang FH menanggapi peristiwa itu sebagai Presiden tidak punya kerjaan lain. Dia lupa bahwa soal pungli itu bukan semata soal jumlah, bukan cuma di Kemenhub. Bahkan bukan urusan satu dua orang. Tapi ya begitulah, bukan FH kalau bukan asal ‘njeplak’, ‘waton suloyo’, dan yang penting kelihatan aneh. Kader PKS yang sudah dipecat itu –siapapun maklum, tampak sangat mencintai jabatannya melebihi apapun yang lain  untuk terus nyinyir pesimistik-.

Pasti banyak komentar lain yang berbeda, atau senada, atau bagaimana, soal operasi tangkap tangan oleh polisi itu. Tapi bayangkanlah andai negeri ini tidak ada pungli. Betapa! Tapi para pelaku pungli kemudian harus makan apa? Tidak perlu khawatir, mereka pasti mendapatkan ransum dari Peemrintah sebagai penghuni LP....... 

Basah, Pecat

Urusan perizinan, pengadaan barang, pengajuan proyek, pendidikan, dan banyak lagi adalah sarangnya perilaku penyimpang. Orang menyebut itu tempat basah!  Di situ terjadi pungli berjamaah, secara sadar ke bawah ke atas, bahu-membahu, adil dan makmur bersama-sama. Dan tidak ada yang disembunyikan. Berpuluh-puluh tahun begitu, dan harus begitu, jadi alangkah aneh kalau pungli begitu saja mau dihilangkan!

Diberitakan di media bahwa uang hasil pungli di Kemenhub itu sudah dibagi-bagi dalam beberapa amplop untuk para pejabat tertentu di sana. Uang yang menjadi barang bukti bila ditambahkan dengan nilai uang pada kartu bank  yang ada konon mencapai satu milyar rupiah lebih. Maka bayangkanlah betapa menggurita kalau satu kementrian itu dibuka transparan praktek-praktek pungli yang dilakukan pegawainya. Bayangkanlah praktek yang sama juga terjadi pada kementrian/lembaga negara yang lain. Bahkan pada institusi kepolisian sendiri, pengadilan, hingga MA.

Mungkin Kapolri memberi sinyal gamblang kepada anak buahnya di seluruh provinsi. Segeralah sudahi praktek kotor bin menjijikkan yang terjadi selama ini. Pecat, sebagai ancaman bagi yang masih melakukan kecurangan itu kiranya sedikit-banyak bakal memberi dampak psikologis bagi pegawai dan pejabat yang nakal.

Momentum, Hedonistik

Kedatangan Presiden Jokowi ke TKP tentulah sebuah momentum sangat strategis untuk membuat pernyataan tegas, jelas, dan tuntas. “Tidak ada lagi pungli!” Tentu kemudian menjadi tugas setiap menteri, tiap pimpinan lembaga tinggi hingga rendah, pada semua institusi, bahkan di pihak swasta untuk berbenah mengikuti kecenderungan kekinian: hidup bersih, jujur, bertobat, dan hidup sederhana.  

Sebab jangan-jangan gaya hidup mewah selama ini (dengan standar yang berbeda tentu, sesuai dengan penghasilan dari gaji ditambah pendapatan lain-lain yang bernuansa pungli itu), menjadi menyebabkan si pelaku tidak bisa berhenti. Semua akan berdalih harga-harga naik, kebutuhan meningkat, sementara gaji dan tunjangan yang diperoleh tidak memadai.

Pastilah tarik ulur terus akan terjadi. Tidak ada orang yang mau hidup sederhana, pas-pasan, dan apa adanya. Betapa selama ini banyak pegawai dan karyawan yang hidup di atas kemampuan finansialnya. Pasti masih ada nanti yang berpraktek curang secara sembunyi-sembunyi, lebih tertutup, kong-kalikong, dan melibatkan lingkup yang lebih kecil. Bahkan kalau perlu sendiri saja.

Orang-orang yang sudah telanjur terjerat gaya hidup hedonistik itu kiranya akan sulit sekali melangkah surut. Mereka tidak akan takut dengan ancaman pecat. Tidak takut dengan masuk penjara, tidak malu. Jangan lagi hanya ancaman neraka.

Penutup

Tindakan baik apapun selalu saja ada orang yang menyikapinya dengan sebaliknya. Dulu dikenal orang ungkapan ‘hangat-hangat tahi ayam’, lalu belakangan tercipta ungkapan ‘tebang pilih, sial, dikorbankan, dipolitisir, dan banyak lagi’. Dengan semua masa lalu kita itu banyak orang menjadi pribadi yang pesimisitik, berpikir negatif, mudah berprasangka buruk, mau jalan pintas, ingin serba instan, cari gampang, dan hal-hal lain serupa itu.

Kita menjadi bangsa yang sangat-sangat tidak menghargai proses. Kita menjadi bangsa yang berpendapat bahwa apapun yang sudah terjadi tidak mungkin diubah, tidak mungkin diperbaiki, tidak perlu dipikirkan lagi. Seburuk apapun yang kita hadapi.  Yang ada hanya mengeluh, menyalahkan, meremehkan, dan berbicara banyak di belakang. Maka tampak kemudian, kita adalah bangsa pungli.

Begituah. Yang perlu kita lakukan sekarang adalah mendukung pemberantasan pungli. Kalau kita pegawai, jauhi sebelum dipecat atau dipenjara.  Kalau kita pihak swasta dan pengguna pelayanan mulailah menjalani sesuai prosedur, dan jangan menyalahi aturan. Maka bayangkanlah suatu ketika kelak di seluruh pelosok tanah air tidak ada lagi pungli. Mudah-mudahan Jokowi sudah memulainya, dan selanjutnya pembersihan besar-besaran terhadap aparat yang bandel harus segera dilakukan.  Semoga negeri bebas pungli bukan sekadar 'andai'. Mudah-mudahan keinginan luhur itu tercapai. Wassalam. ***

Bandung, 12 Oktober 2016 M/11 Muharam 1438 H.

Sumber gambarl

Simak juga tulisan sebelumnya:

  1. /ketika-tim-sukses-saling-membantai
  2. nasib-penonton-rusuh-dan-pencopet
  3. penipu-dan-para-korbannya

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun