Darah berceceran di mana-mana. di dinding, lantai, dan di perabotan. Muncratan darah merah segar seperti disemprotkan liar begitu rupa. Seisi rumah besar itu jadi bernuansa darah, dengan bau khas, warna menyala, serta suasana kengerian kelam tak terkira-kira. Tentu ini dari nadi leher yang terpotong paksa. Bersama dengan refleks kelojotan, membanting-banting diri ke semua arah.
Sebuah adegan yang absurd. Drama pamungkas, sandiwara babak akhir, sekaligus adegan film yang menampilkan penggambaran ketidakberdayaan yang mencekik.
Itulah yang pagi itu diperagakan penuh greget dan mood memuncak oleh Perempuan Fiksi. Ia bertindak sebagai dalang, alias sutradara, sekaligus pemeran alias akto,r untuk mewujudkan sebuah gambaran sangat fiktif tentang pembunuhan yang dilakukan mahluk halus terhadap mahluk kasar yang pada hakekatnya si mahluk kasar justru melukai dirinya sendiri.
“Kamu telah melakukan aksimu dengan baik, Kawan. Sangat fantastis bahwa itu sekadar adegan pura-pura. Bakatmu luar biasa. Tapi aku takut kamu terperangkap pada kondisi kejiwaan tertentu sehingga sulit membedakan mana kejadian sesungguhnya dan mana kejadian yang hanya ada dalam sinetron. . . . .!” ucap si mahluk halus dengan begitu halusnya sehingga nyaris tak terdengar.
“Aku manusia total. Camkan itu! Jadi apapun yang kupikirkan dan kulakukan merupakan sebuah totalitas. Dalam agamapun ada perintah untuk selalu bersungguh-sungguh dalam hal apapun. Jangan sangka dunia ini tempat bermain. Hanya dalang alias sutradara yang boleh bermain, bermain-main, dan mempermainkan mainannya semau dia sehingga segala sesuatu tampak menjadi sungguh-sungguh!” jawab si mahluk kasar alias Perempuan Fiksi dengan pekik, berteriak, mendengus, menghardik, meletup-letup begitu kasar.
Pagi pun memuai seperti kerupuk dalam minyak panas penggorengan, serupa mekar bunga mawar hitam yang dipercepat ratusan kali, mirip dengan balon yang dipompa, dan seterusnya. Sepagi ini segenap otot dan akalnya mulai aktif mencari-cari lakon apa yang hendak diperankan lagi dan lagi.
Perempuan Fiksi mondar-mandir, berjalan dari ruang depan ke belakang, lalu memutari ruang tidur, masuk kekamar mandi dan dapur, sebelum akhirnya ke halaman dan mengharapkan tukang bubur lewat. Lapar pula perut ini, gumamnya tiba-tiba.
Yang ditunggu tak juga muncul. Tiba-tiba ia berharap tukang koran segera datang pula. Dan seperti rutin hari-hari lampaunya, ia akan membuat secangkir kopi, lalu menyeruputnya panas-panas sambil membuka halaman demi halaman koran. Kemudian ia akan mencemooh semua yang dibacanya, mengumpat-umpat, mengomentasi secara buruk semua hal, dan terus saja bicara sendiri lebih panjang dan lebih banyak dibandingkan apa yang dibaca.
Ya, hanya judul-judul saja yang dibacanya, dan ia sudah merasa tahu persis apa isi di otak si penulis berita. Entah sejak kapan ia punya semacam ketajaman penglihatan sehingga apapun yang dilihatnya sepintas saja cepat dapat dipahami dan dicerna di dalam otak. Dan selanjutnya ia punya pikiran sendiri bagaimana mengekspresikannya dalam seni peran di atas panggung maupun di di depan kamera film.
Satu hal yang ia lupa, hari ini hari libur nasional. Ahad, sekaligus kalender merah. “Oya, sekarang tahun baru Hijriah,” gumamnya dengan lunglai.
Perempuan itu selalu ingat pada salah satu nasehat tahun baru hijriah: “Segeralah berhijrah dari mencintai dunia kepada mencintai akhirat!”