Kami bertemu kembali setelah puluhan tahun berpisah. Tak terbayangkan waktu begitu cepat berlalu. Kami saling berjauhan memang sejak lulus SMA. Saya hanya tahu ia berkuliah di luar kota. Di ibukota provinsi lain, sekitar tiga ratus kilometer dari kampung halaman tempat kami tumbuh besama-sama sebagai remaja.
Pertemuan itu masih menyisakan rasa penasaran. Ucapan terakhir sebelum ia naik ke gerbong kereta api petang itu sebenarnya memberi harapan. “Kalau memang jodoh, kita pasti bertemu lagi . . . . . !” Namun harapan itu palsu.
***
Stasiun tua peninggalan Belanda itu penuh orang. Penumpang, pengantar, dan para pedagang bercampur sesak. Seperti pasar. Berdesakan dan riuh. Saya mengantar Yasnita sampai ke tempat duduknya. Pada deret ke tujuh, dekat jendela. Sebuah koper kulit dan tas kain berisi aneka keperluannya saya taruh di tempat bagasi.
“Doakan aku lulus tes di sana . . . . . .!”
“Apakah aku harus berdoa yang mengharuskan kita saling berjauhan?”
“Aku mengejar cita-cita. Sebuah perjuangan untuk kita!” ucap Yasnita bersemangat.
“Aku tidak yakin kamu mampu setia!”
“Kalau aku di sini saja, kita bakal menjadi sepasang kekasih yang didera kebosanan... . . .!” ucapnya dengan hati-hati.
Penumpang terus bertambah. Ia diam, dan saya hanya memandanginya.
“Perpisahan ini sangat baik, sekurangnya kita dapat saling merindukan. Itu mengharuskan kita menulis surat setidaknya seminggu sekali. Bila rajin menulis, kita dapat mengumpulkannya menjadi buku. Judul bukumu mungkin: Cerita Rindu Pram pada Yas. Sedang bukuku: Cerita Rindu Yas pada Pram!”