Mohon tunggu...
Sugiyanto Hadi Prayitno
Sugiyanto Hadi Prayitno Mohon Tunggu... Penulis - Lahir di Ampel, Boyolali, Jateng. Sarjana Publisistik UGM, lulus 1982. Pensiunan Pegawai TVRi tahun 2013.

Pensiunan PNS, penulis fiksi. Menulis untuk merawat ingatan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[Bulan Kemerdekaan RTC] Pembalasan, Seratus Tahun Kemudian

18 Agustus 2016   10:18 Diperbarui: 18 Agustus 2016   10:38 167
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
tentara dalam perang darat (http://nicoladalbenzio.blogspot.co.id/)

Dengan cara yang amat rumit dan berbahaya akhirnya para pejuang militan dapat menyusup ke daratan Eropa. Sebuah perjuangan yang tak gampang. Ada yang melalui jalan darat, jalan laut, dan ada yang memilih jalan udara. Jalan apapun yang dapat dipergunakan untuk menyusup dilakukan. Tujuannya hanya satu, sebuah negara kecil Belanda. Melalui berbagai negara lain, sebanyak seratus orang pejuang pada hari yang telah ditentukan akan merangsek dan melumpuhkan negara kecil itu.

Seratus tahun bukan waktu yang pendek untuk menuntut balas. Ada aroma dendam, ada nada dan nuansa kemarahan. Namun bukan itu yang terpenting. Pikiran waras para pejuang untuk merebut kembali apa saja yang pernah dirampas bangsa penjajah itu tak terbendung.

Sersan Jumalit bin Ardam yang menjadi komandan. Tujuh wakil komandan masing-masing memimpin sepuluh sampai lima belas orang anggota. Ketujuh wakil komandan tak lain para jawara dari seluruh penjuru Nusantara. Mereka Monang, Jafar, Joyo, Sarli, Franki, Gagam, dan  Sulfiati. Mereka berpangkat lebih rendah. Para pejuang adalah orang-orang pilihan. Cerdik, cerdas, trengginas, dan licin. Dan yang paling menakutkan mereka luar biasa bengis.

Mereka bukan tentara, tapi penampilan tak jauh berbeda. Mereka tak lebih kumpulan kriminal kelas berat dengan vonis hukuman mati. Setahun terakhir mereka dilatih pada semua medan dengan keras dan penuh disiplin. Mereka rela menukar hukuman dengan mengadu untung untuk sebuah tugas mulia. Untuk negera yang selama ini mereka kangkangi dengan aneka tindak kriminal dan koruptif.

Sebenarnyalah mereka orang-orang tak berguna kalaupun harus mati. Tapi manakala misi mereka sukses, semuanya seketika akan berubah. Orang akan cepat melupakan masa lalu,  dan kemudian menjadikan mereka sebagai pahlawan. Setidaknya itulah yang sangat rapi dan terencana ditanamkan ke dalam benak tiap pejuang.. . . .!

***

Daratan Eropa bagaikan kumpulan kota-kota mati. Hanya beberapa kota kecil yang utuh. Lima belas tahun sudah perang besar berlalu, namun kehidupan belum juga bangkit. Negara-negara Eropa yang dibantu Amerika Serikat melawan Rusia yang disokong Tiongkok sama-sama hancur. Nyaris punah. Tidak ada yang menang.

Perang dunia ketiga pada tahun 2030 yang begitu singkat telah mengubah Eropa yang dulu gemerlap menjadi semacam belantara rongsok tak berpenghuni. Hanya dalam hitungan hari peradapan tinggi berubah menjadi kehidupan zaman batu. Hanya sepuluh persen penduduk yang bertahan hidup. Itupun mereka sebagian besar merasa lebih aman tinggal di kedalaman tanah. Dalam bunker anti gempa, anti getaran, anti radiasi nuklir, anti serangan penyakit melalui udara maupun frekuensi audio-video.

Mereka tidak saling berbicara karena sebagian besar telah menjadi bisu dan tuli. Penglihatanpun sangat terganggu. Selain akibat perang, kondisi mereka diperparah dengan keseharian berada di lorong-lorong dalam tanah yang gelap, dingin, dan sunyi. Mereka makan lumut dan hewan kecil apa saja yang hidup di dalam tanah.

Sebagaimana Eropa, demikian pula Rusia dan Amerika Serikat. Di sana tidak nampak kehidupan manusia selain perasaan putus asa, penyesalan mendalam karena telah menuhankan teknologi dan kesombongan ilmu-pengetahuan. Mereka juga dilanda ketakutan akut yang bermuara pada goncangan kejiwaan hingga menjadi setengah gila. Pada saat benua lain dalam kegelapan itulah negara-negara di Asia Tenggara tumbuh pesat menjadi negara modern, sejahtera, dan adidaya. Tak terkecuali Indonesia sebagai pemimpinnya.

Negara-negara itu tak terkena satu senjata nuklir pun. Seminggu sebelum perang dunia ketiga meletus para tentara di beberapa instalasi pertahanan Amerika, Inggris dan Rusia pada beberapa negara di Asia Tenggara terkena wabah virus mematikan. Mereka demam tinggi, lemas, dan lumpuh. Instalasi itu tak sempat dioperasikan ketika perang selesai.

Seratus pejuang yang akan merangsek ke Negeri Belanda itu telah menggunakan piranti dan pakaian khusus anti radiasi, anti ditektor panas dan logam, anti serangan virus dan gas beracun apapun. Pesatnya perkembangan teknologi telah memungkinkan seseorang menggunakan perangkat tertentu untuk menghindari semua ancaman konvensional yang membahayakan jiwa. Bahkan mereka membawa peralatan canggih untuk menetralisir tempat-tempat yang dikehendaki jauh lebih cepat dibandingkan seharusnya.  

Seperti para pahlawan kemerdekaan dulu, keseratus orang pejuang itu menggunakan semacam bambu runcing sebagai senjata. Tentu bukan bambu asli dari kebun bambu. Bentuknya saja menyerupai bambu, pendek dan lancip, namun super canggih yang mampu mengeluarkan aneka sinar pembunuh maupun penyembuh, juga aneka persenjataan yang melumpuhkan fisik dan mengacaukan pikiran. Serupa totokan ke pusat-pusat syaraf yang mematikan. Dalam perjalanan penyusupan itu persenjataan mereka beberapa kali dipergunakan.

***

Tentu saja ribuan museum di negeri Kincir Angin itu tinggal debu berserakan di bawah puing-puing bangunan nyaris rata tanah. Sersan Jumalit bin Ardam tidak berputus ada. Ia mengumpukan ke tujuh wakil komandan, bahkan juga ke sembilan puluh dua pejuang yang telah berkumpul di dekat sebuah taman kota yang porak-poranda.

“Apa yang masih dapat kita bawa pulang sekarang? Semuanya telah menjadi rongsok. Banyak artefak, benda seni dan budaya, lontar dan kitab-kitab kuno, wayang, batik, perkakas dapur, dan yang lainnya yang mereka sampas pada zaman penjajahan dulu  telah tak berwujud. Yang masih bertahan tinggal patung-patung batu. Bahkan aneka logam perhiasan, senjata tajam, maupun peralatan pertanian telah meleleh tak berbentuk.. . . . .!” bisik Sersan Jumalit dengan begitu prihatinnya. 

“Tapi kepalang basah, Komandan. Harus ada yang kita bawa pulang untuk menandai bahwa kita telah sampai pada satu titik pencapaian tertinggi dimana semua dendam kesumat masa lampau terlampiaskan!” ujar Briptu Monang setengah memprotes.

“Saya setuju sekali. . . . .!” sahut Bripda Jafar dan Joyo hampir bersamaan. Keduanya tidak punya perbendaharaan kata lain kecuali tiga kata itu. Bahkan untuk menyatakan ketidaksetujuan pun mereka menggunakan kata-kata yang sama. Hanya tekanannya yang diubah-ubah. Bila bermakna setuju akan dibuat berlogat kental Jawa Timuran. Namun bila berarti menolak digunakan logat Sumatera Utara: lugas, tuntas, dan beringas!

“Maksudmu?” desak Sersan Jumalit.

“Sahaya setujuh sekhaliii, Komandan. . . . .!” ucap Jafar dan Joyo santun, serentak.

Semua mengangguk tegas. Seratus orang mengangguk berulang-ulang, serupa gerakan Tari Saman, sambil mengucapkan kata : “Aamiinnn. . . . .!” Panjang sekali, hingga bergema dari pantulan reruntuhan gedung yang takpak di sepanjang mata memandang!

Sorak-sorai riuh sesaat. Sampai seorang wakil komanan berdiri dan mendekati Sersan Jumalit. Dengan gerakan reflek yang mengagetkan Briptu Sulfiati menyergap daun telinga komandannya. Lalu berbisik lirih. Entah apa isinya. Yang pasti bukan godaan untuk berselingkuh. Hanya beberapa detik, dan sang komandan yang sangar dan legam oleh aneka tatto itu tak berkutik untuk mampu berkata tidak!

***

Sebulan kemudian, suatu pagi yang jernih, cerah, dan manis.  Lima pesawat airbus mendarat berturutan di Bandara Jokowi-Jeka di pedalaman Pulau Kalimantan. Sepuluh kapal perang sandar di Pelabuhan Nawacita di pelabuhan ultra modern pantai Papua Barat. Serta dua ratus gerbong kargo di Stasiun Kereta Api Super Cepat Cahaya Bulan Purnama di ujung barat  Banda Aceh.

Serentak hari itu puluhan ribu benda seni-budaya, artefak dan peninggalan sejarah lain, buku-buku ilmu pengetahuan dan aneka perhiasan logam dan batu mulia, di keluarkan dan di pajang di museum yang telah disiapkan. Itulah semua kekayaan warga negeri Belanda yang berhasil mereka selamatkan di dalam persembunyian mereka di bawah tanah. Namun para pejuang tanpa ampun mengambil paksa sisa kekayaan itu. 

Para bule yang telah kehilangankepeercayaan diri itu tidak mampu membela diri. Mereka tak mampu melawan. Sebab para pejuang menerapkan taktik devide et empera, taktik adu domba yang keji itu. Mereka hanya bisa pasrah. Terlebih ketika disegarkan kembali ingatan mereka betapa kakek-moyang mereka selama beberapa abad telah menyengsarakan bangsa lain. Pembalasan itu sangat setimpal, dan mereka ganti merasakan betapa sengsaranya menjadi bangsa terjajah.

Pada pidato penyerahan hasil rampasan yang menjadi misi utama mereka, Sersan Jumalit bin Ardam memberi laporan kepada Presiden Haji Wang Ching Lay sebagai berikut: “Kami telah berjuang mempertaruhkan nyawa mengemban tugas kami. Dan inilah hasil maksimal yang dapat kami bawa pulang. Semua benda purbakala Indonesia telah lenyap. Yang tersisa hanya hara benda tersisa milik mereka. Itu yang dapat kami rampas. Seluruh identitas ke-belanda-an mereka lenyap dan bakal segera mengisi museum-museum megah di seluruh wilayah tanah air. Kami berlaku cukup adil seperti mereka memperlakukan kakek-moyang kita pada masa lalu.. . . . . . .!”

Sorak-sorai kemenangan menandai pidato penuh semangat itu. Ribuan orang berkumul di sebuah stadion yang dirancang khusus. Dilengkapi fasilitas teleconference yang super canggih yang memungkinkan pidato dari tiga daerah yang berjauhan berasa tanpa jarak. Sersan Jumalit melanjutkan lantang:  “Seratus orang pejuang diberangkatkan, dan delapan puluh orang kembali. Sepuluh orang tewas karena berbagai sebab. Lalu sepuluh orang lainnya jatuh cinta dengan bule dan menetap di sana. Termasuk seorang wakil komandan, Sarli. Tentu seperti dulu Belanda memperisteri orang-orang pribumi dan melahirkan keturunan berpostur bule, kini pembalasan pun berlangsung dengan sendirinya. Nah, sebagai penutup, atas semua jerih payah dan pengorbanan yang telah kami lakukan ini kami menuntut janji pembebasan dari semua hukuman apapun yang selama ini kami jalani.. . . . .!”

Delapan puluh orang yang terbagi dalam tiga kelompok di tiga daerah yang berbeda itu berdiri takzim. Mereka menunduk dan kemudian perlahan berjongkok sebagai bentuk pengakuan bersalah atas perilaku sebagai kriminal selama ini, dan meminta untuk dimaafkan. Air mata mereka pun menetes deras sekali. Seluruh tubuh basah kuyup. Rupanya gerimis bercampur salju seolah ikut menambah suasana mengharukan. Sampai kemudian suara tembakan senapan mesin memberondong beruntun memecah kesunyian siang yang jernih, cerah, dan manis.

Sersan Jumalit bin Ardam pun tumbang. Demikian pula tujuh puluh sembilan teman-temannya yang lain. Tanpa iringan lagu, dan tidak juga taburan bunga. Mata mereka sempat terbeliak tak percaya, kaget, mulut melolong getir, dan menjadi gila. Hanya ada hitungan detik kesempatan mereka untuk bersuara kritis: bangsa sendiri ternyata jauh lebih kejam dibandingkan bangsa penjajah Belanda. Namun yang terlontar nyaring hanya suara ‘auuhhg, aaargghhh’. Serupa lenguhan panjang memilukan karena kesakitan dan ketakutan menjelang ajal!

Lalu layar lebar perlahan diturunkan. Musik parkusi dari aneka peralatan dapur digaungkan. Hiruk pikuk, bertalu-talu bising. Gedebruk, degubrak, grombyang. . . . . .! Panggung pun sejenak tertutup rapat. Lampu-lampu dinyalakan. Gedung teater itu seketika terang benderang. Tepuk tangan ribuan penonton menggemuruh. Mereka memberikan apresiasi sambil berdiri.

Tiga menit berlalu, dan layar pangggung kembali diangkat. Dan seluruh pemain pendukung, sutradara, petugas teknik, penulis script dan awak panggung lain, penabuh gamelan dan pemusik berjajar tegak dan rapi seraya memberi hormat. Puncak perayaan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia ke seratus tahun di desa terpencil itu pun usai!***

Bandung, 18 Agustus 2016

Karya ini diikutsertakan dalam rangka mengikuti Event Bulan Kemerdekaan RTC

Sumber gambar

download-10-rumpies-57b379ecb47e61cf41bdfd5c-57b528ad1fafbdd54b03c704.jpg
download-10-rumpies-57b379ecb47e61cf41bdfd5c-57b528ad1fafbdd54b03c704.jpg

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun