Mohon tunggu...
Sugiyanto Hadi Prayitno
Sugiyanto Hadi Prayitno Mohon Tunggu... Penulis - Lahir di Ampel, Boyolali, Jateng. Sarjana Publisistik UGM, lulus 1982. Pensiunan Pegawai TVRi tahun 2013.

Pensiunan PNS, penulis fiksi. Menulis untuk merawat ingatan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[Bulan Kemerdekaan RTC] Pembalasan, Seratus Tahun Kemudian

18 Agustus 2016   10:18 Diperbarui: 18 Agustus 2016   10:38 167
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
tentara dalam perang darat (http://nicoladalbenzio.blogspot.co.id/)

***

Sebulan kemudian, suatu pagi yang jernih, cerah, dan manis.  Lima pesawat airbus mendarat berturutan di Bandara Jokowi-Jeka di pedalaman Pulau Kalimantan. Sepuluh kapal perang sandar di Pelabuhan Nawacita di pelabuhan ultra modern pantai Papua Barat. Serta dua ratus gerbong kargo di Stasiun Kereta Api Super Cepat Cahaya Bulan Purnama di ujung barat  Banda Aceh.

Serentak hari itu puluhan ribu benda seni-budaya, artefak dan peninggalan sejarah lain, buku-buku ilmu pengetahuan dan aneka perhiasan logam dan batu mulia, di keluarkan dan di pajang di museum yang telah disiapkan. Itulah semua kekayaan warga negeri Belanda yang berhasil mereka selamatkan di dalam persembunyian mereka di bawah tanah. Namun para pejuang tanpa ampun mengambil paksa sisa kekayaan itu. 

Para bule yang telah kehilangankepeercayaan diri itu tidak mampu membela diri. Mereka tak mampu melawan. Sebab para pejuang menerapkan taktik devide et empera, taktik adu domba yang keji itu. Mereka hanya bisa pasrah. Terlebih ketika disegarkan kembali ingatan mereka betapa kakek-moyang mereka selama beberapa abad telah menyengsarakan bangsa lain. Pembalasan itu sangat setimpal, dan mereka ganti merasakan betapa sengsaranya menjadi bangsa terjajah.

Pada pidato penyerahan hasil rampasan yang menjadi misi utama mereka, Sersan Jumalit bin Ardam memberi laporan kepada Presiden Haji Wang Ching Lay sebagai berikut: “Kami telah berjuang mempertaruhkan nyawa mengemban tugas kami. Dan inilah hasil maksimal yang dapat kami bawa pulang. Semua benda purbakala Indonesia telah lenyap. Yang tersisa hanya hara benda tersisa milik mereka. Itu yang dapat kami rampas. Seluruh identitas ke-belanda-an mereka lenyap dan bakal segera mengisi museum-museum megah di seluruh wilayah tanah air. Kami berlaku cukup adil seperti mereka memperlakukan kakek-moyang kita pada masa lalu.. . . . . . .!”

Sorak-sorai kemenangan menandai pidato penuh semangat itu. Ribuan orang berkumul di sebuah stadion yang dirancang khusus. Dilengkapi fasilitas teleconference yang super canggih yang memungkinkan pidato dari tiga daerah yang berjauhan berasa tanpa jarak. Sersan Jumalit melanjutkan lantang:  “Seratus orang pejuang diberangkatkan, dan delapan puluh orang kembali. Sepuluh orang tewas karena berbagai sebab. Lalu sepuluh orang lainnya jatuh cinta dengan bule dan menetap di sana. Termasuk seorang wakil komandan, Sarli. Tentu seperti dulu Belanda memperisteri orang-orang pribumi dan melahirkan keturunan berpostur bule, kini pembalasan pun berlangsung dengan sendirinya. Nah, sebagai penutup, atas semua jerih payah dan pengorbanan yang telah kami lakukan ini kami menuntut janji pembebasan dari semua hukuman apapun yang selama ini kami jalani.. . . . .!”

Delapan puluh orang yang terbagi dalam tiga kelompok di tiga daerah yang berbeda itu berdiri takzim. Mereka menunduk dan kemudian perlahan berjongkok sebagai bentuk pengakuan bersalah atas perilaku sebagai kriminal selama ini, dan meminta untuk dimaafkan. Air mata mereka pun menetes deras sekali. Seluruh tubuh basah kuyup. Rupanya gerimis bercampur salju seolah ikut menambah suasana mengharukan. Sampai kemudian suara tembakan senapan mesin memberondong beruntun memecah kesunyian siang yang jernih, cerah, dan manis.

Sersan Jumalit bin Ardam pun tumbang. Demikian pula tujuh puluh sembilan teman-temannya yang lain. Tanpa iringan lagu, dan tidak juga taburan bunga. Mata mereka sempat terbeliak tak percaya, kaget, mulut melolong getir, dan menjadi gila. Hanya ada hitungan detik kesempatan mereka untuk bersuara kritis: bangsa sendiri ternyata jauh lebih kejam dibandingkan bangsa penjajah Belanda. Namun yang terlontar nyaring hanya suara ‘auuhhg, aaargghhh’. Serupa lenguhan panjang memilukan karena kesakitan dan ketakutan menjelang ajal!

Lalu layar lebar perlahan diturunkan. Musik parkusi dari aneka peralatan dapur digaungkan. Hiruk pikuk, bertalu-talu bising. Gedebruk, degubrak, grombyang. . . . . .! Panggung pun sejenak tertutup rapat. Lampu-lampu dinyalakan. Gedung teater itu seketika terang benderang. Tepuk tangan ribuan penonton menggemuruh. Mereka memberikan apresiasi sambil berdiri.

Tiga menit berlalu, dan layar pangggung kembali diangkat. Dan seluruh pemain pendukung, sutradara, petugas teknik, penulis script dan awak panggung lain, penabuh gamelan dan pemusik berjajar tegak dan rapi seraya memberi hormat. Puncak perayaan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia ke seratus tahun di desa terpencil itu pun usai!***

Bandung, 18 Agustus 2016

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun