“Gelandangan? Hahaha, hihihi. . . . . .! Terjebak ia pada permainan setengah bisnis, setengah judi, setengah kong-kali-kong, setengah klenik, setengah kegilaan. Pendeknya ia kalah telak, dan menyerah pada nasib yang tragis!” seru Kakek Sansan seperti orang kesurupan.
“Hahaha . . . . jenaka sekali! Kisah kita ini sangat cocok kalau diberi judul ‘Sahdan Ahok pun Kena Batunya!’ Hahaha. . . . !” ujar Mak Meylan sok tahu.
Suara tertawa itu terus bergema sahut-menyahut ke seluruh ruangan, bergema, nyaring, melengking, dan memantul-mantul dari speaker ke dinding, lalu dari dinding ke telinga. Hingga tiba-tiba terdengar ribut dan bising. Ada suara sirine mobil polisi, diikuti sirine ambulance, bunyi mesin sepeda dan mobil kejar-kejaran, terikan dan sorak-sorai gaduh. . . lalu, suara : “Kerusuhan. . . ., kerusuhan! Kebakaran! Cepat menyelamatkan diri kalian masing-masing. . . . .!”
Gedoran musik menggema, dengan ditingkah suara biola melengking, meliuk-liuk ganas.
Lampu di semua sudut panggung padam. Lampu-lampu kecil di sepanjang dinding gedung pun padam. Gelap gulita, beberapa detik berlalu. Hening, sunyi. Kemudian serentak semua lampu dinyalakan. Penonton bertepuk tangan. Masih terduduk di kursi masing-masing, mereka tidak percaya bahwa pertunjukkan sudah berakhir. Dua jam pertunjukkan waktu terasa cepat sekali berlalu. Ratusan muda-mudi, tua-muda itupun merasa sangat puas bahwa akhirnya Kang Ahok pun kena batunya. Rasain, Loe!
***
Para pemain berjajar di atas penggung. Lampu dinyalakan semua. Mereka membungkukkan badan dalam-dalam. Terakhir muncul si sutradara jenius. Ia seorang perempuan seengah tua kaya pengalaman panggung. Ia menulis naskah sendiri, juga memilih pemain, serta mengurusi sampai ke hal-hal remeh-temeh lain. Namanya fenomenal, Bibi Wiu Wiu.
Kegemarannya mengenakan pakaian berwarna merah darah dari kain batik dengan motif mega mendung ciri khas Cirebonan. Maka ia lebih sering dipanggil Ibu Mega. . .! Namun orang sangat tidak peduli dengan nama itu. Yang khalayak pedulikan adalah mahakarya beliau yang mengundang decak kagum setiap pentas berlangsung. Entah itu sikap sungguhan, atau sekadar basi-basi dan cibiran!
Penonton puas, lega, sangat bergembira. Mereka serentak berdiri dan bertepuk-tangan bertalu-talu. Gedung hampir roboh kalau saja layar tidak segera ditutup. Penonton pun dengan tertib keluar gedung besar dan megah itu. Mereka akan segera menuju ke gedung yang berbeda yang memanggungkan kegilaan lain yang sebagai bagian dari upaya mewujudkan motto lawas ‘memasyarakatkan drama, dan memperdrama masyarakat!’ Begitulah satu episode mencekam namun penuh komedi di sebuah negeri antah-berantah bernama Republik Sandiwara!***
Bandung, 4 Agustus 2016