Mohon tunggu...
Sugiyanto Hadi Prayitno
Sugiyanto Hadi Prayitno Mohon Tunggu... Penulis - Lahir di Ampel, Boyolali, Jateng. Sarjana Publisistik UGM, lulus 1982. Pensiunan Pegawai TVRi tahun 2013.

Pensiunan PNS, penulis fiksi. Menulis untuk merawat ingatan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sahdan Ahok pun Kena Batunya

4 Agustus 2016   09:32 Diperbarui: 1 April 2017   08:49 1024
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tidak seperti biasanyanya Ahok kelayapan sampai jauh siang. Hari itu bukan hari  libur, bukan ada kepentingan sangat penting hingga perlu mangkir kerja. Tapi lelaki itu kadang kumat dungunya. Ia kelayapan entah kemana saja. Yang lebih mengherankan ia membawa ayam jagonya yang katanya dibesarkan seperti kepada anak sendiri.

Ya, ayam jago itu blasteran antara ayam hutan, ayam pelung, ayam bangkok, ayam cemani, ayam tertawa, dan ayam kampung. Kombinasi yang mumpuni untuk dijadikan aduan. Ganas luar biasa di arena, dan bila si lawan terjengkang kalah akan diikuti dengan suara tertawa dengan jumawa. Nama si ayam jago tak lain adalah Mas Bro. Dan Ahok akan berkeliling kampung untuk memamerkan gacoannya itu kepada siapa saja yang memilik ayam jago aduan. Tujuannya jelas: provokasi, komporisasi, bahkan anti kompromi. Ia ingin mereka itu lumer hatinya, lalu luluh, dan akhirnya bertekuk lutut sebelum arena adu jago disiapkan.

 “Singgahlah dulu ke sini, Kang Ahok. Panas terik di luar rumah, kenapa Abang masih juga berpanas-panasan. Apa tidak takut cacingan? Hahaha!” seru Mak Meylan lantang dengan logat Tegal nan kental. Tentu disertai pula dengan lambaian tangan, goyangan pinggul, dan tawa riang meski tidak ada yang lucu.

“Singgah? Makan, minum, dan rokok? Lalu utang lagi?” jawab Ahok sambil terus berjalan ke timur, menyusuri jalan berdebu dengan langkah mantap, tanpa menoleh.

“Aku tidak nagih utangmu. Aku cuma ingin kamu ngobrol di sini supaya banyak orang datang karena penasaran dengan semua cerita muskhil yang sering kau ucapkan. Orang-orang akan terhibur dan melupakan kesulitan hidup mereka. Orang-orang akan sangat menikmati semua logika dan argumentasi aneh yang kamu obrolan, meski mereka pada akhirnya akan bingung sendiri. . . . . . .!” seru Mak Meylan makin keras hingga urat-urat leher bermunculan.

Ahok tak menoleh. Dan warung kecil di pinggir dusun itu kehilangan penglaris. Ahok tidak mau singgah, itu berarti pada petani, pedagang keliling, dan para peminum kopi yang gemar bergunjing dan berpolitik praktis tidak mau singgah. Jadinya warung sepi. Maka siang itu Mak Meylan berpikir keras bagaimana caranya agar tiap hari, kalau perlu sepanjang hari, Kang Ahok mau bertandang ke warung. Biar utangnya tidak lunas-lunas karena makin banyak saja, ia ikhlas. 

Sementara itu Ahok sudah sampai di rumah Kakek Sansan yang jenggotan dan gondrong warna keperakan itu. Kakek sebelas anak dan dua puluh enam cucu itu kaya raya tapi pelit kecuali kepada isteri. Isterinya tiga dan masih nambah lagi.

“Minggu lalu satu truk orang adu jago diangkut petugas. Sekarang kamu mau bikin onar lagi?” sambut lelaki gaek itu dengan wajah beringas. “Kusumpahi kamulah yang kelak bakal diadu hingga babak belur, setengah mati, kalau perlu. . . . . .!” ledek Kakek Sansan begitu Ahok muncul di depan hidungnya.

“Tidak ada orang yang mau adu jago lagi. Kapok. Tobat. Judi dilarang, siapapun yang melanggar bakal dipenjara. Tapi sebelum itu diperas dulu hingga tinggal ampas. . . . .!” jawab Ahok sekenanya.

Kakek Sansan  menangkupkan telapak tangan kanannya ke mulut Ahok. “Jangan bikin fitnah. Ngobrolin yang nyata dan fakta saja bisa masuk bui apalagi yang fitnah seperti itu. . . . . .!”

Ahok tahu belaka akal bulus lelaki tambun di depannya itu. Ia banyak akalnya, licik, dan lain di mulut lain di hati. Karena itu mesti waspada dan harus pinter menterjemahkan ke arah mana sasaran tembak ucapannya hendak di arahkan. Dan Ahok tak sulit untuk menebak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun