***
Panggung berganti setting dengan suasana sebuah ruang penjara. Lengkap dengan properti pintu besi. Ada tujuh orang nara pidana di dalam kerangkeng. Di luar terali besi ada seorang penjaga berkumis tebal lengkap terduduk di kursi reot dengan kedua kaki bersepatu ditumpangkan ke meja di depannya. Ia tertidur pulas.
Para napi itu agaknya pelaku adu jago yang ditangkap petugas seminggu lalu. Kini dalam proses untuk diajukan ke pengadilan. Sebagian sudah dilepas karena tidak terbukti bersalah, hanya sebagai penonton. Dalam penggerbekan itu banyak pula yang berhasil melarikan diri dengan meninggalkan harta-benda miliknya di arena judi sabung ayam itu. Kini para napi berbisik-bisik ribut, lalu tertawa-tawa seru sampai terguling-guling segala. Padahal kalau pun bicara dengan volume normal saja tidak mungkin si penjaga tahu bahwa ia menjadi bahan guyonan. Selain karena si penjaga tertidur pulas, para nara pidana itu menggunakan salah satu bahasa pedalaman Tiongkok sana dengan logat aneh timpa-menimpa.
Ketika si penjaga menggerakkan tubuhnya, entah sedang mimpi dikejar apa, tiba-tiba. . . . .gedubrakkk, jatuh. Karuan saja lelaki itu terbangun geragapan. Dan untuk menghilangkan rasa malu maka ia pun terawa terbahak sendirian. Suara tawanya tiba-tiba berhenti ketika dilihatnya ketujuh narapidana di dalam sel itu tertidur pulas dengan suara ngorok berupa siulan, geraman, hingga bunyi sronggotan babi hutan bersahutan.
Penonton tertawa riuh. Bertepuk tangan gegap-gempita. Mereka mungkin merasa absurd. Mungkin juga merasa terwakili rasa humornya mendapati komedi sarkas seperti itu. Yang pasti kemudian layar besar diturunkan untuk berganti setting. Penonton menunggu kegilaan apa lagi yang hendak dimunculkan sang sutradara jenius bernama Bibi Wiu Wiu. Dengan debar penasaran tak terkirakan.
***
Musik cadas pun bergetar hebat, seperti menggebrak gendang telinga. Lalu lambat-laun melemah, jadi lirih dan sayup-sayup. Lampu panggung dinyalakan kembali. Namun yang gaduh justru di deretan kursi penonton. Sosok Ahok di sana dengan busana compang-camping, sobek disana-sini, berjalan mondar-mandir. Ia menebar-nebar sampah. Dua lampu sorot dari arah berbeda mengikuti ke mana saja ia melangkah. Mengais isi tong sampah mengunyah sesuatu ang ditemukan di situ. Lalu mengambil kardus dan plastik air mineral. Mengambil puntung kretek, lalu menyulut dan menyedotnya. Baunya menyengat.
Di panggung ada di setting ruangan dalam rumah Kakek Sansan yang megah. Ia tampak sangat berbahagia lahir dan bathin, karena tertawa-tawa tak terkira-kira kerasnya. Di sampingnya duduk Mak Meylan yang berbusana genit bin norak begitu rupa. Beberapa asisten rumah tangga tampak berjongkok, dengan ternganga, namun tak sepatah katapun terucap.
“Kalau saja tidak kuundang sepuluh orang makan gratis setiap kali Kang Ahok datang di warungku tidak mungkin dia menjadi sepercaya diri seperti itu. Ia pongah dan ingin kaya cepat. Ia tidak tahu sedang berhadapan dengan siapa. . . . .” ujar Mak Meylan dengan suara sangat manja.
“Aku punya belasan ekor ayam seperti yang dibanggakannya itu. Ia tidak tahu kalau aku juga seorang pembiak unggas yang andal. Ia terkecoh. Agaknya ayamnya itu ia beli dengan keseluruhan harta benda yang ia miliki. Bahkan rumahnya pun ikut ia pertaruhkan. . . . .!” jawa Kakek Sansan.
“Beruntung ia tidak diciduk petugas. Setelah semua kekalhan itu ia dipecat dari pekerjaannya. Kini ia jadi gelandangan. . . . .!” tambah Mak Meylan.