“Banyak tempat untuk bersembunyi dari mata petugas. Dan kalau mau cepat kaya jagoku ini tidak ada tandingnya.. . . . .!” ucap Ahok sambil menimang-nimang ayam jagonya itu sedemikian sehingga si jago meronta-ronta memperlihatkan keganasannya. “Ia campuran semua unsur jagoan dari semua jenis ayam. Ia bakal mengalahkan jago manapun, di arena aduan manapun. Tapi sayangnya aku bukan seorang penjudi!”
“Jangan ngomong berputar-putar kayak penjual obat keliling begitu. Kamu mau menjual ayam jago itu padaku ‘kan?” tanya Kakek Sansan langsung pada sasaran.
Ahok terperangah. Jeli juga perkiraan orang tua itu, gumam Ahok dalam hati. Beberasa saat tadi ia berubah pikiran dari sekedar pamer dengan mempertinggi harga jual. Semakin tinggi harganya maka lawan siapapun akan keder, dan harus berpikir seribu kali kalau mau menantang.
“Berapa?”
“Seharga rumahmu, Kek!”
“Gila! Mana mungkin?”
“Dengar dulu. Harga itu kalau Mas Bro ini menang dalam taruhan terbesar. Kalau sampai kalah gratis, tidak ada yang perlu dibayar, gratis. . . . .!” ucap Ahok dengan bibir membulat, dan mata sipitnya dipelototkan, dan gerak tubuh sangat meyakinkan sebagaimana para salesman barang elektronik meyakinkan calon pembeli dagangannya.
“Mas Bro nama ayammuitu?”
“Mas Brotoseno, alias Bimoseno. Kuambil dari cerita pewayangan. Panggilannya Mas Bro saja!”
Otak bisnis Kakek Sansan bekerja cepat. Ia tidak perlu berpikir dua kali. Secepat itu mengangguk beberapa kali dengan sangat keras. Sambil tertawa terkekeh-kekeh memperlihatkan gigi tonggosnya. Suara tawanya pun mirip ringkik kuda birahi, penuh kepuasan dan kemenangan. Sebaliknya Ahok merasa seketika itu bakal menjadi milyuner, kaya raya, aman-sejahtera, bahagia-sentosa selama-lamanya. Bayangkanlah rumah si kakek gagah-megah, berlantai tujuh. Sebuah rumah bisnis yang sangat menjanjikan, dan isi perabotan maupun harta benda di dalamnya yang tak ternilai.
Maka Ahok pun ganti tertawa tak kalah kerasnya. Tawa murah-meriah, tertahan-tahan, sesekali disertai batuk-batuk, lalu kembali hahaha - hihihi – huhuhu. Hingga layar panggung diturunkan suara dua lelaki beda generasi itu masih terdengar, memanjang, mengalun, menggema ke seluruh sudut gedung pertunjokkan; namun tiba-tiba suara itu terdengar menyerupai suara tangisan yang sedih memilukan.