Mohon tunggu...
Sugiyanto Hadi Prayitno
Sugiyanto Hadi Prayitno Mohon Tunggu... Penulis - Lahir di Ampel, Boyolali, Jateng. Sarjana Publisistik UGM, lulus 1982. Pensiunan Pegawai TVRi tahun 2013.

Pensiunan PNS, penulis fiksi. Menulis untuk merawat ingatan.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Cinta yang Menua

20 Juni 2016   00:36 Diperbarui: 20 Juni 2016   00:59 187
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bab IX – Dua (Tantangan 100 Hari Menulis Novel)

Setelah berganti pakaian yang rapi dan wangi, Arjo hendak berangkat kembali untuk menemui Wasi. Sayangnya mendadak hujan turun lebat sekali. Ada guntur dan kilat bersabungan di langit. Air seperti ditumpahkan dari langit. Dengan curah hujan setinggi itu dipastikan banyak lokasi dan jalanan pasti becek, tergenang, bahkan banjir. Sejak zaman kolonial kota niaga di pesisir itu sudah menjadi langganan banjir.

Kala itu limpahan air hujan maupun terjangan air laut masih dapat dikelola dengan berbagai cara karena jumlah penduduknya masih terbatas. Seabad kemudian semua tempat air telah dihuni manusia. Bahkan sungai-danau dan saluran air telah dipersempit semata untuk permukiman. Warga kota mau tidak mau harus mengakrabi banjir.

Mnunggu beberapa lama hujan belum juga reda. Arjo menelepon Wasi untuk mengabarkan bahwa kondisi cuaca tidak memungkinkan lagi ia untuk keluar rumah kontrakan. Selain itu meski semangatnya untuk keluar rumah masih ada, tubuh tuanya menghendaki untuk beristirahat.

“Ya, aku maklum. Kita tidak  bertemu kalau begitu, Bang. Namun satu hal mengganjal perasaanku, apakah Abang sudah menduga akan ada seseorang yang ingin mencelakai, bahkan menewaskan papi?” ujar Wasi dari seberang sambungan telepon.

“Sama sekali tidak. Memang ada rencana mereka untuk melepaskan diri dari tanggungjawab. Tapi tidak untuk mencelakai. . . . . .!” jawab Arjo, dan baru disadari beberapa detik kemudian bahwa ia secara tidak langsung sudah menjawab kecurigaan Wasi.

Wasi tidak meneruskan pembicaraan. Ia menutup sambungan telepon dengan harapan besok pagi dapat bertemu langsung. Untuk sementara waktu Arjo merasa tanpa beban pikiran. Ia akan tidur pulas saja di rumah kontrakannya Soal hari esok biarlah dipikirkan besok. Mencari dalih dan pembenaran perihal penerimaan uang sepuluh juta rupiah yang diterimanya dari Olleka sungguh tidak mudah.

***

Sementara itu jauh di utara kota, ketegangan dan kekhawatiran bercampur menjadi satu melanda hati seorang lelaki keturunan. Di sinipun hujan teramat deras. Curahannya seperti sapu lidi memukul-mukul atap seng. Dari jauh terdengar suara ombak laut berdeburan menghantam tembok dermaga. Angin bertiup sangat kencang. Pohon dan tiang-tiang serta bagian-bagian bangunan tinggi seperti bergoyang-goyang, sehingga menimbulkan bunyi riuh sangat gaduh.

Kalau ada orang yang sangat hampir mati karena tercekik oleh ketakutannya sendiri tak lain adalah Ibram, suami Olleka. Lelaki itu garang dan pemarah untuk urusan yang kadang dia sendiri tidak tahu bagaimana mendapatkan jalan keluarnya. Tidak mengherankan ia suka bertingkah serampangan dan gegabah. Ia sering terlalu cepat mengambil keputusan, dan terlalu cepat pula untuk menyesali. Lalu berputus-asa karenanya.

“Mampus. . . . , mampuslah aku. Andai tidak secara kebetulan aku berada di restoran yang sama. Andai saja kemarahanku tidak sedang tersulut malam itu. . . . . .!”seru Ibram dengan mulut beraroma alkohol seperti orang meracau.

Ibram terduduk lunglai dengan tatapan kosong di ruang sempit pada sebuah gudang pelabuhan sederhana di utara kota. Malam terasa sangat pengap, tidak ada kipas angin, apalagi alat pendingin ruangan. Ya, namanya juga gudang tua. Mana enak untuk tempat tinggal.

“Mampus. . . . , mampuslah aku.. . . . .” teriak Ibram seorang diri.

 “Berisik. Jangan bicara keras-keras di situ, kalau tidak kuusir kamu dari sini. . . . .!” seru Gunawan, sepupu jauh Ibram, yang masih bekerja administrasi di ruangan lain. Gunawan bekerja sebagai kepala gudang itu. “Kalau sampai poisi menangkapmu di sini, aku yang celaka. Itu kenapa hanya malam ini saja kamu boleh tinggal. Besok pagi-pagi sudah harus pergi. . . . . .!”

 “Kau senang aku sengsara ya? Kau mau aku terlunta-lunta? Berapa banyak dulu aku pernah membantu keuanganmu untuk memperlancar bisnismu. Sekarang balasannya apa?” teriak Ibram dengan sangat marah.

“Apakah bantuanmu dulu harus kutebus dengan aku masuk penjara. Menyembunyikanmu di sini  berarti aku melibatkan diri dengan urusan kriminalmu?” balas Gunawan tidak lagi berteriak.

Sejak kebakaran Ibram melarikan diri dari apapun dan siapapaun. Ia ingin menghapus jejak, namun perasaannya sendiri mengatakan bahwa tidak ada tempat dimananpun untuk bersembunyi. Kebakaran besar dengan kerugian milyaran rupiah dan diikuti kematian banyak orang, bahkan kematian mantan mertuanya sendiri, menjadikan hatinya terpukul.

Tadi pagi ia masih bersama Olleka. Bersembunyi di rumah seorang saudara jauh yang memiliki rumah besar di pinggir kota. Namun dengan kesepakatan keduanya merasa lebih aman kalau berpencar saja. Dan kalaupun salah satu tertangkap, yang lain masih bisa bebas.

Keduanya mengikuti pemberitaan di televisi tentang keterangan polisi yng telah sampai pada kesimpulan bahwa kebakaran ada unsur kesengajaan.

“Padahal kita sudah memiliki jalan lain. Ada orang yang bersedia membantu kita meski untuk itu perlu bayaran. Sudah ada uang muka sepuluh juta. Kenapa harus mengambil resiko besar dengan tindakan konyol itu. . . . .?!!” gumam Olleka terus menerus, seperti orang sedang merapal mantra. Namun kata-kata itu ditujukan kepada suaminya, Ibram.

Sementara sang suami tak kalah kacau, tegang, dan buntu jalan pikirannya. Ia hampir-hampir ak dapat berpikir lagi.

“Kamu ingin urusan cepat selesai. Pembunuhan melalui tindakan pembakaran tentu tidak mudah dilacak. Namun nyatanya apa? Banyak korban lain orang-orang tak berdosa yang justru menjadi korban. . . . . .!” ucap Olleka lagi. “Kita cepat atau lambat bakal jadi pesakitan. Polisi sudah menemukan bukti melalui CCTV bahwa memang ada orang yang mencurigakan yang melakukan tindakan pembakaran, dan atu kita, aku dan kamu. . . . . .!”

Ibram tidak berkata sesuatu selain mendengarkan saja. Di depannya ada bebarapa botol minuman berkadar alkohol sedang, dan ditenggaknya langsung dari botol. Sudah beberapa tahun terakhir ini sebenarnya ia menjauhi cairan memabukkan itu. Namun kini keinginan kuat untuk melupakan banyak hal dengan menjadi mabuk terlalu kuat untuk ditolak.

“Sebaiknya aku mabuk saja. . . . .mabuk saja. . . . . ! Pusing, pusing! Banyak urusan yang dapat diselesaikan dengan mabuk. Dunia ini terlalu rumit, terlalu gaduh, terlalu sempit. . . . . . !” gumam Ibram dengan mulut berbusa.

“Itu duniamu, Bang. Dunia orang lain tidak seperti itu. Dan semua ini karena tingkahmu sendiri. Menikahi cewek semata untuk mendapatkan hartanya. Ketika kemudian kecewa dan meninggalkannya, masih saja menginginkan hartanya. Siapapun akan pusing tujuh keliling jika dalam posisimu. . . .  .!” ujar Olleka yang asyik menyulut rokoknya setiap kali habis.

Olleka malam itu tak mampu melarang. Padahal selama ini berusaha mati-matian agar suaminya menghentikan kebiasaan buruk itu. Kini ia sendiri bahkan ikut meminum dua-tiga gelas kecil. Hingga wajahnya memerah. Suaranya serak. Terlebih sudah belasan batang rokok disedotnya. Rokok menjadi pelampiasan kegundahannya sejak lama. Pikiran dan perasaan Olleka pun sekacau suaminya.

“Oya, kenapa kita tidak datang saja ke Wasi dan maminya. Kita perlu minta maaf atas kelakuan kita. Di sana kita bisa menjelaskan bahwa kamu tidak ada maksud untuk membunuh mantan mertuamu itu. Minta maaf setidaknya tuntuk memperbaiki hubungan yang selama ini renggang. Mungkin saja mereka bakal merelakan seberapapun besar bantuan yang pernah diberikan mertuamu untuk bisnismu. . . . . . .  .!” desak Olleka dengan suara mulai meracau pula.

Ibram mendengus kesal. Ia mendengarkan dengan baik usul isterinya, namun ia sadar sebaik apapun usul dan saran untuk menghindar dari tanggungjawab dalam kondisi seperti itu tidak ada gunanya. Hampir mabuk berat itu, Ibram masih mampu berpikir bahwa satu-satunya langkah yang dapat ditempuhnya saat ini tak lain adalah lari, dan lari, entah sampai kapan dan dimana nanti.

“Kalau saja hanya aku yang masuk dapur waktu itu. Kalau saja kamu menuruti kemauanku untuk tetap duduk di kursi dan menyantap hidangan yang kita pesan, tentu kamu tidak akan terlibat. Sekarang semuanya sudah berlalu. Tidak mungkin kembali. Tidak ada yang bisa diralat dan diperbaiki.. . . . .!”

“Oke. Tidak masalah lagi untuk dibahas. Tidak juga untuk disesali. Karena itu sebaiknya kita melarikan diri secara terpisah. Kuantar kamu ke gudang di utara. Setelah itu aku akan cari persembunyian sendiri. . . . . .!” ucap Olleka setelah lama diam. “Kalau ada kesempatan untuk lari ke luar negeri kenapa tidak kita lakukan. Terlanjur basah, kita harus lari kemanapun. . . .  .!”

Menggunakan mobil tua pinjaman, Olleka mengantar Ibram untuk bersembunyi di sebuah gudangdi utara. Olleka dengan sangat terampil mengemudi mencari jalan pintas. Ketenangan sifat seorang perempan membuatnya tetap waspada dan hati-hati sdalam mengemudi. Ia tidak mau justru ditangkap polisi karena melangganggar rambu lalu-lintas, atau menabrak kendaraan pengguna jalan lain.

Dan malam itu Olleka berpisah dari suaminya. Untuk sementara ia menjadi diri sendiri. Tidak menjadi orang lemah seperti suaminya. Ia bahkan punya rencana sendiri untuk menghilangkan jejak. Misalnya dengan berganti identitas, berganti penampilan dan wajah dengan operasi plastik, atau minggat saja kemana pun sejauh-jauhnya.

***

Kusut pikiran Ibram bukan hanya urusan bagaimana mempertanggungjawabkan perbuatannya. Ia bahkan kembali pada pilihan yang salah untuk berselingkuh dengan Olleka dulu ketika bisnisnya sedang berkembang pesat. Ia lupa bahwa semua perkembangan itu berkat dukungan finansial dan manajerial mertuanya. Ia lupa bahwa banyak keputusan penting dalam usahanya karena bantuan pemikiran Wasi isterinya.

Yang ia ingat hanya soal Olleka yang jauh lebih cantik, lebih pinter, terampil, dan sangat perhatian pada dirinya. Kedekatannya dengan sekretarisnya itu berlanjut bukan hanya untuk urusan bisnis, namun bahkan diluar itu. hingga akhirnya Ibram melupakan isteri dan dua orang anak, bahkan melupakan kondisi bisnisnya sendiri.

Begitu cintanya Wasi kepada lelaki itu sehingga ia tidak berkeberatan terjadi perselinguhan. “Boleh saja berselingkuh, itu memang sifat lelaki. Seseorang tidak mungkin  menutup-nutupi sifat yang memang sudah diberikan dari asalnya. Tetapi aku minta selesai hanya pada selingkuh saja. Jangan punya niat untuk memperisterinya. Jika kau langgar laranganku ini, lebih baik kita berpisah. Lalu kembalikan semua bantuan papiku. Dan kamu bebas. . . . . . !” ucap Wasi ketika mengetahui untuk pertama kali suaminya menunjukkan gelagat ketidaksetiaannya.

Wasi tidak ingin mengetahui lebih jauh hubungan itu. Ia tidak ingin menjebak atau memperkarakan ke polisi. Semua itu ia rasa tidak perlu. Ia biarkan suaminya berselingkuh, namun tidak untuk menikah  

Tetapi Ibram coba bermain licik. Ia tidak memilih salah satu. Ia pingin kedua-duanya, menikahi Olleka tapi tidak mengembalikan bantuan bisnis. Dengan berbagai cara ia berhasil mengawini Olleka diam-diam. Dan tak lama kemudian semuanya terbuka.

“Sungguh tidak enak sebenarnya membicarakan masa lalu. Terlebih jika masa itu sangat memprihatinkan. Tapi seorang Ibram memang tidak punya perasaan, tidak punya rasa malu. Dari seorang laki-laki bersahaja. Lurus pikiran, dan sangat saleh dalam beragama, tiba-tiba menjadi pengecut. Lupa daratan, dan ingin mereguk seluruh isi dunia. . . . .!” ucap Wasi di depan Ibram pada sidang pengadilan pertama gugatan cerai yang diajukannya.

Dua keluarga besar bertemu di pengadilan. Keduanya mencoba untuk mencari jalan damai. Namun jalan itu terlalu rumit, terlalu terjal untuk ditempuh.  Tentu itu gara-gara Ibram terlalu percaya kepada Olleka. Mantan sekretaris itu mendiktekan hampir semua perkataan maupun argumentasi pada Ibram.  

“Kepercayaan dan kesetiaan apa yang belum kutunjukkan sebagai seorang isteri. Juga dukungan keluarga apa yang belum ia peroleh untuk menunjang perubahan perannya dari sekadar seorang karyawan kemudian menjadi seorang pengusaha yang sukses. Bahkan kuputuskan untuk mengikuti keyakinannya. Namun ia memilih menjadi pecundang. Ia memilih menzalimi dirinya sendiri, entah sadar atau tidak. . . . .!” ucap Wasi getir di depan keluarga besar suaminya sebelum sidang pengadilan dimulai.

Persidangan berlangsung beberapa kali. Lama dan sempat tersendat-sendat. Pengadilan akhirnya mengabulkan gugatan cerai Wasi. Ia sekaligus mendapatkan hak asuh atas kedua anaknya.***

Bandung, 20 Juni 2016

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun