Mohon tunggu...
Sugiyanto Hadi Prayitno
Sugiyanto Hadi Prayitno Mohon Tunggu... Penulis - Lahir di Ampel, Boyolali, Jateng. Sarjana Publisistik UGM, lulus 1982. Pensiunan Pegawai TVRi tahun 2013.

Pensiunan PNS, penulis fiksi. Menulis untuk merawat ingatan.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Cinta yang Menua

20 Juni 2016   00:36 Diperbarui: 20 Juni 2016   00:59 187
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ibram tidak berkata sesuatu selain mendengarkan saja. Di depannya ada bebarapa botol minuman berkadar alkohol sedang, dan ditenggaknya langsung dari botol. Sudah beberapa tahun terakhir ini sebenarnya ia menjauhi cairan memabukkan itu. Namun kini keinginan kuat untuk melupakan banyak hal dengan menjadi mabuk terlalu kuat untuk ditolak.

“Sebaiknya aku mabuk saja. . . . .mabuk saja. . . . . ! Pusing, pusing! Banyak urusan yang dapat diselesaikan dengan mabuk. Dunia ini terlalu rumit, terlalu gaduh, terlalu sempit. . . . . . !” gumam Ibram dengan mulut berbusa.

“Itu duniamu, Bang. Dunia orang lain tidak seperti itu. Dan semua ini karena tingkahmu sendiri. Menikahi cewek semata untuk mendapatkan hartanya. Ketika kemudian kecewa dan meninggalkannya, masih saja menginginkan hartanya. Siapapun akan pusing tujuh keliling jika dalam posisimu. . . .  .!” ujar Olleka yang asyik menyulut rokoknya setiap kali habis.

Olleka malam itu tak mampu melarang. Padahal selama ini berusaha mati-matian agar suaminya menghentikan kebiasaan buruk itu. Kini ia sendiri bahkan ikut meminum dua-tiga gelas kecil. Hingga wajahnya memerah. Suaranya serak. Terlebih sudah belasan batang rokok disedotnya. Rokok menjadi pelampiasan kegundahannya sejak lama. Pikiran dan perasaan Olleka pun sekacau suaminya.

“Oya, kenapa kita tidak datang saja ke Wasi dan maminya. Kita perlu minta maaf atas kelakuan kita. Di sana kita bisa menjelaskan bahwa kamu tidak ada maksud untuk membunuh mantan mertuamu itu. Minta maaf setidaknya tuntuk memperbaiki hubungan yang selama ini renggang. Mungkin saja mereka bakal merelakan seberapapun besar bantuan yang pernah diberikan mertuamu untuk bisnismu. . . . . . .  .!” desak Olleka dengan suara mulai meracau pula.

Ibram mendengus kesal. Ia mendengarkan dengan baik usul isterinya, namun ia sadar sebaik apapun usul dan saran untuk menghindar dari tanggungjawab dalam kondisi seperti itu tidak ada gunanya. Hampir mabuk berat itu, Ibram masih mampu berpikir bahwa satu-satunya langkah yang dapat ditempuhnya saat ini tak lain adalah lari, dan lari, entah sampai kapan dan dimana nanti.

“Kalau saja hanya aku yang masuk dapur waktu itu. Kalau saja kamu menuruti kemauanku untuk tetap duduk di kursi dan menyantap hidangan yang kita pesan, tentu kamu tidak akan terlibat. Sekarang semuanya sudah berlalu. Tidak mungkin kembali. Tidak ada yang bisa diralat dan diperbaiki.. . . . .!”

“Oke. Tidak masalah lagi untuk dibahas. Tidak juga untuk disesali. Karena itu sebaiknya kita melarikan diri secara terpisah. Kuantar kamu ke gudang di utara. Setelah itu aku akan cari persembunyian sendiri. . . . . .!” ucap Olleka setelah lama diam. “Kalau ada kesempatan untuk lari ke luar negeri kenapa tidak kita lakukan. Terlanjur basah, kita harus lari kemanapun. . . .  .!”

Menggunakan mobil tua pinjaman, Olleka mengantar Ibram untuk bersembunyi di sebuah gudangdi utara. Olleka dengan sangat terampil mengemudi mencari jalan pintas. Ketenangan sifat seorang perempan membuatnya tetap waspada dan hati-hati sdalam mengemudi. Ia tidak mau justru ditangkap polisi karena melangganggar rambu lalu-lintas, atau menabrak kendaraan pengguna jalan lain.

Dan malam itu Olleka berpisah dari suaminya. Untuk sementara ia menjadi diri sendiri. Tidak menjadi orang lemah seperti suaminya. Ia bahkan punya rencana sendiri untuk menghilangkan jejak. Misalnya dengan berganti identitas, berganti penampilan dan wajah dengan operasi plastik, atau minggat saja kemana pun sejauh-jauhnya.

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun