Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit Bagas Waras ramai dengan kedatangan para korban kebakaran. Ruangan yang luas itu tidak cukup memadai untuk menampung banyaknya jumlah pasien baru. Terpaksa harus ada yang digeletakkan di lantai menunggu tindakan dokter. Kondisi itu membuat rumah sakit mengerahkan semua dokter, perawat, dan tenaga lain. Karena jumlah pasien di IGD itu membludak, beberapa korban kebakaran memilih berpindah tempat ke rumah sakit lain meskipun jaraknya lebih jauh.
Suara teriak kesakitan, geraman, dan raungan menahan sakit terdengar bergantian. Ditingkah pula dengan suara tangis keluarga yang baru datang setelah mengetahui sanak-saudara mereka menjadi korban kebakaran. Tersebih ada beberapa orang yang datang ke rumah sakit sudah menjadi mayat, Tangisan makin riuh, membuat bising dan panik para perawat dan dokter. Padahal mereka harus berpikir cepat untuk mengklasifikasi tingkat keparahan akibat kebakaran. mengambil keputusan tindakan apa yang harus dilakukan terhadap satu persatu pasien mereka.
Ada yang mengalami luka bakar derajat satu, atau ringan, yaitu kebakaran yang mengenai kulit paling luar. Namun banyak pula yang luka bakar mencapai derajat dua. Hl itu terjadi karena luka sudah mengenai lapisan kulit yang lebih dalam dan menimbulkan rasa sakit/nyeri hebat, pembengkakan, kemerahan, berbecak-becak, dan inflamasi yang lebih parah.
Sementara itu korban kebakaran masih terus berdatang. Ada yang menggunakan kendaraan pribadi, ambulance, angkutan umum, serta ojek sepeda motor. Pihak rumah sakit terpaksa menolak pasien baru, hingga sempat menimbulkan ketegangan dengan korban maupun keluarga korban yang baru datang.
“Kami mohon maaf IGD kami sudah penuh, Pak. Sudah banyak yang digeletakkan di lantai begitu saja oleh pengantarnya. Takutnya pasien tidak cepat terlayani. Kalau kondisi lukanya parah kami sarankan untuk membawanya ke rumah sakit lain saja. . . . .!” ujar seorang dokter perempuan dengan nada suara sangat hati-hati. Pada saat itu datang sekaligus tiga korban kebakaran. Dua orang tertimpa bara api hingga menghanguskan sebagian kulit, dan seorang lagi patah kaki kiri karena melompat dari pantai dua.
“Tapi kami hanya mengantar saja, Bu. Korban ini bukan sanak-saudara kami. Kami sudah membantu sampai di sini, masak sih mau ditolak?” ujar seorang pemuda pengemudi sebuah angkutan kota.
“Ini semata karena IGD kami sudah penuh. Tidak ada tempat lagi. Mohon maklum. . . . . .1” ujar Bu Dokter seraya meninggalkan korban baru di depan pintu instalasi itu. Ia segera berlari pada pasien yang menjerit-jerit kesakitan. Diberinya obat penenang sebelum dilakukan tindakan lebih lanjut. Secepat itu ia menangani pasien lain yang dalam kondisi kritis.
Wasi melihat dari kejauhan kondisi papinya yang sangat mengkhawatirkan. Sudah sadar beberapa menit ketika sampai di IGD Rumah Sakit Bagas Waras ini, namun tidak lama kemudian kembali pingsan. Wasi belum sempat bicara apapun pada papinya. Sementara para dokter dan perawat sangat sibuk mengurus pasien lain. Haji Lolong belum tertangani. Pasien lain dianggap lebih parah untuk segera ditangani.
Wasi mengambil sebuah brosur tentang akibat musibah kebakaran yang tersedia di dekat tempatnya berdiri: Seorang korban luka bakar dapat mengalami berbagai macam komplikasi yang fatal. Komplikasi itu berupa kondisi shock, infeksi. Selain itu memunculkan masalah pernapasan maupun trauma dan psikologis yang berat karena cacat dan bekas luka.
“Apa yang perlu kita lakukan, Bang?” tanya Wasi kepada Arjo yang terduduk di sudut dengan ketakutan.
“Hubungi keluargamu. Siapa saja mereka yang harus segera tahu. Kalau ada keluarga yang berprofesi sebagai dokter sebaiknya dihubungi pula. . . .!”