“Ya, tentu saja. Hanya orang sehat yang merokok. Tapi akibat banyak merokok itu paru berlubang, seperti papiku. Kata dokter kalau tidak segera diberi pengobatan maka kematian sudah di depan mata. . .”
“Begitu ya, aku sangat sehat. Kamu lihat tadi aku mengangkat papimu ‘kan?” jawab Arjo membela diri. “Mungkin lelaki lain seumurku sudah tak mampu lagi mengangkat beban seberat itu. Aku masih kuat”
“Mudah-mudahan itu berarti paru-paru Abang tidak berlubang!”
“Ada jutaan sebab orang menemui ajal. Rokok hanya salah satu saja. Jadi tidak relevan bahaya merokok untuk ditonjol-tonjolkan. Kamu bisa mengambil perbandingan, seorang sopir bus malam atau sopir truk antar kota antar provinsi yang harus menahan kantuk agar kendaraan yang dikemudikannya selamat sampai tujuan. Tentu ada banyak cara, satu diantaranya dengan merokok. Ngantuk atau merokok? Celaka atau selamat? Pilihan yang tidak gampang, ‘kan?
Dokter Fred Wijoditomo, paman Wasi yang berambut tebal keperakan, menelepon direktur Rumah Sakit Bagas Waras untuk memberi perhatian lebih besar pada pasien korban kebakaran bernama Haji Lolong. Doker itu datang sendiri. Secepat itu penanganan dilakukan. Namun semuanya terlambat. Kondisi jantung Haji Lolong yang lemah, dan mungkin beberapa penyakit lain yang dideritanya selama ini menjadi penyebab nyawanya tidak tertolong.. . . .
Mengetahui hal itu Wasi menjerit histeris. “Papi. . . . papi! Jangan tinggalkan Wasi, Pa. Kenapa Papi begitu tega meninggalkan Wasi. . . . . . !” jerit Wasi begitu kerasnya.
Arjo memeluk perempuan itu agar tenang. Membujuk, dan menenangkan. “Tenanglah, Neng. Jalan ini kukira yang terbaik yang dipilihkan Tuhan. Ia pergi setelah berubah kembali menjadi orang baik... . . .!”
Pelukan spontan itu membawa Wasi pada kenangan dibonceng Arjo dengan sekilas dibauinya parfum yang sangat dikenalnya: Etienne Aigner dengan aroma khas buah lemon.Parfum mahal itu dulu menjadi kesukaan suaminya Ibram. Entah kenapa Arjo pun punya selera yang sama. Sejenak Wasi tertegun dan tenggelam dalam kilasan romantisme masa lalu. Gairah itu tiba-tiba seperti meletup pada diri seorang lelaki tua seusia papinya. Wasi tergugu oleh kesedihan ditinggal papinya, sekaligus juga kesusahan ditinggal masa lalunya yang seolah mencibirnya.
Jerit tangis Wasi tanpa sadar membuat Arjo ikut meneteskan air mata. Diingatnya hal itu merupakan tangisan pertama setelah puluhan tahun tidak pernah mampu memperturutkan kata hati untuk bersedih, terlebih bila harus mengeluarkan air mata. Itu kenapa dalam seni peran yang sejak muda digelutinya Arjo tidak optimal menjiwai karakter yang cengeng dan melankolis.
“Kematian itu begitu dekatnya, begitu mudahnya. Tapi kiranya papimu memang sudah mendapatkan firasat mengenai hari akhirnya.. . . . . .!” ujar Arjo setengah berbisik di telinga Wasi. “Menangis seperlunya saja tidak apa-apa. Dalam agama, menangisi orang mati secara berlebihan sangat dilarang. Sebab tindakan itu bisa diartikan sebagai tidak menghormati keputusan Tuhan, bahkan dikhawatirkan bisa justru menyalahkan Tuhan. Itu sangat tidak baik, bahkan salah!”
Pelukan Wasi merenggang dan kemudian lepas ketika keluarga besarnya datang. Mami, Wiyasa, serta Erwan dan Erwin datang bersamaan. Di dekat tubuh Haji Lolong yang tergolek kaku, mereka pun menangis sejadi-jadinya.