“Bro Haji, saya perlu ruangan lain dimana setiap orang bisa bebas menghembuskan asap sisa dari pembakaran di paru-paru sendiri. Di sini ruangannya terlalu sempit, dan tidak ada tandanyang menggambarkan sebuah kebebasan. . . . . !” ucap Arjo berdalih dengan kalimat yang memutar-mutar tidak gampang dimengerti.
“Apa tidak ada kalimat yang lebih simpel dari itu?” jawab Haji Lolong dengan sikap kurang suka.
“Ada. Merokok. . . . .!” ucap Arjo serasa menempelkan jari telunjuk dan jari tengah ke bibirnya sendiri.
“Merokok? Tidak adakah pilihan hidup lain yang lebih mentereng dibandingkan bunuh diri?” tanya Wasi dengan kalimat tegas memperlihatkan ketidaksetujuannya pada sikap seorang perokok. “Apakah Bang Arjo akan minta izin untuk merokok ketika malaikat maut sedang bekerja mencabut nyawamu?”
“Justru malaikat mautnya saya ajak merokok bersama-sama agar mereka lupa tugasnya. Tapi kalau kaitannya dengan bunuh diri, rasanya jauh dari keadaan seperti itu. Rokok dalam banyak hal justru uuntuk menjaga kesehatan. Setidaknya menjaga kesehatan ekonomi para krator seni dan budaya. Bayangkanlah kalau paa seniman dilarang meerokok lalu ide-ide buntu, mampat, mengkristal, tak mampu diekspresikan dengan tepat, apa yang bakal terjadi?” bujuk Arjo dengan suara didamatisir agar terasa makin meyakinkan.
Haji Lolong hanya melihat saja pembiaraan anaknya dengan Arjo. Ia tidak melihat soal benar-salah, kalah-menang, namun lebih ke soal binis. Ada beberapa usahanya yang berkaitan dengan rokok, baik penyediaan barangmaupun soal sponsorship. Bahkan ia pun belum lama berhenti merokok, sejak kesehatan parunya divonis berlubang. Namun ia harus menatakan sesuatu agar perdebatan tidak justru meruncing kontra produktif.
“Begini saja. Silahkan Jon Bongsor mencari tempat untuk merokok sekarang, tapi kami akan pulang saja. Urusan ini dipending dulu sampai entah kapan nanti. Karena aku menilai Jon Bongsor lebih mengutamakan kesenangannya sendiri dibandingkan menghormati komitmen persahabatan. . . . . 1’ ujar Haji Lolong dengan sangat tegas.
Arjo tak berkutik kecuali menuruti apa kata Haji Lolong. Ia masuk ke ruang kecil itu dengan langkah berat, dan mengambil tempat duduk dengan wajah kaku kehilangan gairah. Tiba-tiba ia merasa harga dirinya terinjak sangat telak. Namun sekali lagi ia harus bersabar, ikhlas untuk menjadi orang yang kalah, sebab keadaannya yang tidak memungkinkan untuk memberontak. Soal merokok baginya sejak dulu bahkan bisa dibilang soal hidup-mati. Namun kini urusannya berbeda sama sekali.
“Oke silahkan pembicaraan apa yang hendak Bro Haji dan Neng Wasi sampaikan. Saya Cuma bisa mendengarkan saja. Soal merokok biarlah kita lupakan.. . . . .!” ucap Arjo dengan suara menyerah.
Untuk menenangkan perasaan terkalahkan lelaki tua itu, dengan lembut Wasi menepuk-nepuk pundak Arjo. Seperti menenangkan hati seorang bocah yang keinginannya tak terpenuhi. Naluri sebagai seorang ibu mengharuskan diperlihatkan kasih-sayang yang melindungi dan membela. Meski dengan sekadar gerakan kecil yang tak berarti.
“Baiklah, aku mulai saja ya, Pa. . . .! Tidak ada sesuatuyang luas biasa sebenarnya, inti pembicaraan ini pendek saja. Kami menawarkan Bang Arjo, atau dalam panggilan papi menjadi Jon Bongsor, bekerja penuh pada kami. Alasannya sederhana, kami ingin Bang Arjo bekerja sepenuhnya pada kami. Sepenuh hati, pikiran dan tenaga yang dimiliki. Apalagi saya dengar Bang Arjo seorang duda dengan tanggungan anak semua kepada iseri terdahulu.