Mohon tunggu...
Sugiyanto Hadi Prayitno
Sugiyanto Hadi Prayitno Mohon Tunggu... Penulis - Lahir di Ampel, Boyolali, Jateng. Sarjana Publisistik UGM, lulus 1982. Pensiunan Pegawai TVRi tahun 2013.

Pensiunan PNS, penulis fiksi. Menulis untuk merawat ingatan.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Cinta yang Menua - Bab V – Empat (Tantangan 100 Hari Menulis Novel)

14 Mei 2016   22:58 Diperbarui: 14 Mei 2016   23:06 68
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

dalam jok belakang sedan mewah warna biru tua itu Arjo mendapati seorang lelaki hampir seusianya, yang perlente dan sangat wangi. Rambut menghitam dengan beberapa uban, mata tajam, dan senyum sangat manis. Kacamata, jam angan, hingga sepatu, semua bermerek produk import terbatas. Tanda-tanda orang kaya terlihat jelas pada penampilan itu.

Arjo jadi kehabisan daya kritis untuk berpikir orang macam apa yang sedang dihadapinya kini. Belum berkata sesuatu lelaki itu mengajaknya bersalaman.

“Pak Arjo ya. . . . . .? Begitu sulitnya untuk bertemu, sampai harus dilakukan jemput paksa seperti ini. . . .hehehe!” ucap lelaki itu tidak menunjukkan wajah sangar dan menakutkan seperti banyak diceritakan orang.

“Ya, Arjo Kemplu nama saya.. . . .!” jawab Arjo dengan perasaan was-was. Ia sudah menduga bakal terjadi aksi kekerasan lagi di dalam mobil, dan itu sama sekali tidak mengenakan.

“Perkenalkan namaku Haji Lolong. Penguasa Pasar Kebon Klengkeng. Kalau kamu belum kenal sepak terjangku di sana kapan-kapan kamu boleh cari tahu dengan semua penghuni pasar itu.. . .hehehe!” kata lelaki itu sambil melepaskan telapak tangan.

Arjo mencermati sepintas. Lelaki itu gemar sekali terkekeh jelek . . . .hehehe. . . ., serupa badut tidak lucu salah tingkah. Sepintas ia menilai orang yang bernama Haji Lolong itu berbadan biasa saja. Tidak kekar dan menakutkan yang suka main tampar dan tendang. Karena bakal gampang dibanting lawannya jika main kasar. Tapi entah kewibawaan yang terpancar dari suara, wajah, dan sikapnya. 

Mobil meluncur pelan diantara lalu-lalang orang ke arah timur meninggalkan kawasan terminal bus antar kota antar provinsi. Malam seperti merambat meninggi, gerimis reda. Lampu-lampu merkuri berseliweran di luar jendela mobil. Beberapa kali berpapasan dengan bus antar kota antar provinsi sehingga harus menepi.

“Saya bukan menghindar atau lari. Tapi cuma heran saja, bagaiamana mungkin seorang preman besar yang banyak urusan mau menemui saya. Ada urusan besar apa sehingga memerlukan kedatangan saya. . . . . !” jawab Arjo sambil memancing niat dan maksud tersembunyi apa dibaliknya peristiwa itu.

Haji Lolong tidak segera menjawab. Ia meminta sopir untuk berbelok ke rumah makan langganannya. Sebuah restoran chines food dengan tulisan halal di sudut papan nama. Arjo makin tak mengerti maksud apa gerangan yang dikandung di benak lelaki itu. Ia menurut saja untuk ikut turun dari mobil begitu Haji Lolong, sopir dan seorang pengawal mendahului turun.

“Biarlah saya tunggu di luar saja. Saya mau merokok. . . . .!” ujar Arjo kepada Haji Lolong.

“Lho ini jamuan justru untuk menghormatimu. Kamu tamuku malam ini. Satu-satunya tamu yang tak gampang aku temui. Bahkan para birokrat maupun politisi pun lebih mudah.. . . .hehehe! Ayo masuk, jangan sungkan-sungkan. Aku sudah pesan tempat paling baik juga makanan paling enak di restoran ini. . . . .!” kata Haji lolong setengah memaksa. “Tapi kalau menurut pendapatmu tempat ini kurang memadai, kita bisa pindah ke tempat lain sesuai pilihanmu. . . . .! Tapi tentu kamu tahu resikonya, kamu yang harus bayar. . . . .hehehe!”

Arjo tidak bisa berkutik. Ia kalah angin, kalah gertak. Jadi sambil berpikir keras diturutinya ajakan kenalan baru yang serba memaksa itu.

Arjo berdua saja dengan Haji Lolong di sebuah ruangan megah ber-AC serba merah, tertutup kaca dari ruangan lain. Ragam hias, aksesoris, cat dinding, perabotan, bahkan lukisan bunga bernuansa tradisional Tiongkok. Arjo tidak bisa membayangkan betapa mahal harga makanan di restoran itu. Bahkan kalaupun uang di dompetnya penuh seperti sekarang, ia akan berpikir seribu kali untuk memasuki restoran ini.

“Kalau boleh berterus terang, saya tidak suka disogok dan diiming-imingi sesuatu agar saya mengerjakan sesuatu. Sebab dengan begitu saya akan menjadi kacung, orang suruhan, bahkan budak yang tidak bernilai dimata pemilik uang. . . . . .!” ujar Arjo tegas. Meski dalam hal ini tidak terlalu yakin. Bukankah ia pun sudah menjadi orang upahan karena menerima janji dari Olleka? Oorang bayaran? Secepat itu Arjo menimpali, ya apa salahnya menjadi agen ganda? Berpihak pada dua orang yang sedang bertikai sambil memanfaatkan keuntungan finansial sebanyak-banyaknya.

“Apakah aku seperti orang yang sedang menyogok orang lain? Gratisifikasi? Hehehe. Kalau saja kamu seorang petugas pajak, petugas kantor hukum, atau minimal pejabat publik, mungkin arahnya ke sana.”

“Tapi begitulah firasat saya. Tidak ada hujan tidak ada angin tiba-tiba. . . . .!”

“Petir menggelegar. . . .hehehe. Ayo duduklah dengan nyaman. Kita makan dulu baru ngobrol, atau sambil nunggu kita ngobrol dulu saja. Hidangan selalu tersaji agak lama, karena kita di sini tidak melulu mau makan. Kita perlu ngobrol, diskusi, tukar cerita, atau apalah. Aku selalu senang ketemu orang baru, terlebih yang tidak tahu siapa aku. . . . ..!” ucap Haji Lolong sambil duduk di kursi yang berseberangan meja dengan Arjo.

Arjo tidak bisa sega menyahut. Ia sedang berpikir keras ke arah mana pembicaraan ini akan beranjak. Dari tadi rasanya hanya basa-basi saja. Namun satu hal yang melegakanhati Arjo: tidak ada kekerasan seperti yang dikhawatirkannya. Tidak ada caci-maki dan kekejaman seperti yang telah dibayangkannya. Setidaknya sampai saat ini.

Agak lama saliang berdiam diri sampai kemudian Haji Lolong membuka suara.

“Begini Jo, atau Jon, begitu saja namamu ya. Jon, supaya terdengar keren. Kalau mau lebih lengkap ya jadi Jon Bongsor, supaya tampak unik dan aneh. . . . . .!” guman lelaki bermata sipit itu. “Agak aneh dan kurang tepat sebenarnya kalau dengan orang baru ternyata aku bisa begitu saja langsung percaya. Mungkin begitu juga pendapatmu. Tapi ini soal penting bagiku!”

“Intinya bagaimana, Bro? Saya panggil ’bro’ saja kalau tidak berkeberatan ya. . . .? Lengkapnya jadi Bro Haji. . . .” ganti Arjo ingin mengubah nama panggilan lawan bicaranya.

“Bro Haji? Silahkan nama apa saja, asalkan ada kata haji di situ. Aku setuju saja. Oke, Jon Bongsor, sekarang giliranmu untuk mendengarkan. . . . .!” ujar Haji Lolong berubah menjadi serius.

“Saya mendengarkan, Bro Haji. . . .!” balas Arjo sambil tersenyum.  

Belum sempat berucap lagi hingan sudah datang. Tiga orang pelayan sekaligus membawa piring-piring besar, dengan aneka masakan di dalamnya. Udang galah, kepiting, kakap,  serta beberapa hasil laut lain seolah tumpah di atas meja.  Aneka masakan pedas, asam, asin, juga masakan panggang, goreng, rebus.  Masakan panas datang sekaligus, asap mengepul-ngepul mengundang selera. Enak tentu semuanya.

“Apakah masih ada sepuluh orang lagi yang akan bergabung makan di ruang ini, Bro Haji?” pancing Arjo sekenanya. Belum mulai makan pun Arjo sudah merasa kekenyangan. Ini pengalaman luar biasa yang seumur hidup baru ditemuinya. Makan berdua dengan jumlah menu cukup untuk sepuluh orang. . . .

“Begitulah, Jon Bongsor. Perhitunganmu sangat cermat.. .  .!” puji Haji Lolong tulus. Sedikit demi sedikit ia tahu juga akan karakter kawan baru yang diusulkan anaknya Wasi untuk mendukung kesuksesan bisnisnya.

“Sepuluh orang? Gila! Siapa saja mereka?”

“Tidak penting siapa mereka. Bagiku makan enak sendirian memperlihatkan sifat kikir sekaligus boros. Itu dua sifat buruk yang harus kita jauhi. Lebih dari itu membiarkan selera terpenuhi tanpa rem pengendali seringkali mendatangkan penyakit berat dengan lebih cepat. Dan kamu tahu sendiri akibatnya apa bila perut jadi buncit kayak orang hamil sembilan bulan. . . .. . . .hehehe!”

Di singgung soal perut buncit itu tentu Arjo hanya mampu meringis. Terbaca sudah salah satu sifatnya. Arjo khawatir makin banyak ngobrol dengan Bro Haji ini akan makin banyak rahasia pribadinya yang terkuak lebar.

***

Tidak sampai tiga puluh menit acara makan selesai. Sebab tidak ada ngobrol kecuali bicara dan gerak tubuh ala kadarnya. Potongan pembicaraan Haji Lolong ajakan:  “Ayo tambah lagi, tambah lagi! Jangan malu-malu. Siapa yang akan menghabiskan nanti?” Dan dijawab Arjo dengan anggukan, gelengan kepala, angka bahu, tersenyum, dan akhirnya : “Cukup, Bro Haji, cukup! Saya menyerah. Perut ini rasanya hampir meletus!”

“Terimakasih, Bro Haji. Kenyang sekali. Sangat enak, dan puas. Lebih tepatnya tidak ada kata-kata yang sanggup menandingi hidangan yang begitu luar biasa mewah, melimpah, dan serba wah ini. . . .  Sekali lagi saya mengucapkan terimakasih!” ucap Arjo ketika mengelap bibir dengan handuk basah setelah segelas air putih dingin diminumnya.

“Saya juga berterimakasih sebab Jon Bongsor sudah mau memenuhi undanganku. Dan aku sudaaah barang tentu sangat bergembira sebab semua rencanaku berjalan lancar. Pertama-tama meringkus korban, lalau mengajaknya berbasa-basi secukupnya, lalukemudian membawa ke restoran mewah. Dan akhirnya tanpa diketahui korban pada salah satu masakan sudah dibubuhi racun mematikan. . . . . !” ucap Haji Lolong dengan nada dingin.

“Apakah si korban itu saya?” pekik Arjo dengan sangat kaget. Sesuatu seperti mendesak-desak perutnya. Lalu seketika kepalanya dirasa berat, pandangan meremang, tubuh melemah, dan. . . . .! (Bersambung)

Bandung, 14 Mei 2016

Sumber gambar  :  zhen-orchids

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun