Mohon tunggu...
Sugiyanto Hadi Prayitno
Sugiyanto Hadi Prayitno Mohon Tunggu... Penulis - Lahir di Ampel, Boyolali, Jateng. Sarjana Publisistik UGM, lulus 1982. Pensiunan Pegawai TVRi tahun 2013.

Pensiunan PNS, penulis fiksi. Menulis untuk merawat ingatan.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Cinta yang Menua - Bab V – Empat (Tantangan 100 Hari Menulis Novel)

14 Mei 2016   22:58 Diperbarui: 14 Mei 2016   23:06 68
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

“Saya mendengarkan, Bro Haji. . . .!” balas Arjo sambil tersenyum.  

Belum sempat berucap lagi hingan sudah datang. Tiga orang pelayan sekaligus membawa piring-piring besar, dengan aneka masakan di dalamnya. Udang galah, kepiting, kakap,  serta beberapa hasil laut lain seolah tumpah di atas meja.  Aneka masakan pedas, asam, asin, juga masakan panggang, goreng, rebus.  Masakan panas datang sekaligus, asap mengepul-ngepul mengundang selera. Enak tentu semuanya.

“Apakah masih ada sepuluh orang lagi yang akan bergabung makan di ruang ini, Bro Haji?” pancing Arjo sekenanya. Belum mulai makan pun Arjo sudah merasa kekenyangan. Ini pengalaman luar biasa yang seumur hidup baru ditemuinya. Makan berdua dengan jumlah menu cukup untuk sepuluh orang. . . .

“Begitulah, Jon Bongsor. Perhitunganmu sangat cermat.. .  .!” puji Haji Lolong tulus. Sedikit demi sedikit ia tahu juga akan karakter kawan baru yang diusulkan anaknya Wasi untuk mendukung kesuksesan bisnisnya.

“Sepuluh orang? Gila! Siapa saja mereka?”

“Tidak penting siapa mereka. Bagiku makan enak sendirian memperlihatkan sifat kikir sekaligus boros. Itu dua sifat buruk yang harus kita jauhi. Lebih dari itu membiarkan selera terpenuhi tanpa rem pengendali seringkali mendatangkan penyakit berat dengan lebih cepat. Dan kamu tahu sendiri akibatnya apa bila perut jadi buncit kayak orang hamil sembilan bulan. . . .. . . .hehehe!”

Di singgung soal perut buncit itu tentu Arjo hanya mampu meringis. Terbaca sudah salah satu sifatnya. Arjo khawatir makin banyak ngobrol dengan Bro Haji ini akan makin banyak rahasia pribadinya yang terkuak lebar.

***

Tidak sampai tiga puluh menit acara makan selesai. Sebab tidak ada ngobrol kecuali bicara dan gerak tubuh ala kadarnya. Potongan pembicaraan Haji Lolong ajakan:  “Ayo tambah lagi, tambah lagi! Jangan malu-malu. Siapa yang akan menghabiskan nanti?” Dan dijawab Arjo dengan anggukan, gelengan kepala, angka bahu, tersenyum, dan akhirnya : “Cukup, Bro Haji, cukup! Saya menyerah. Perut ini rasanya hampir meletus!”

“Terimakasih, Bro Haji. Kenyang sekali. Sangat enak, dan puas. Lebih tepatnya tidak ada kata-kata yang sanggup menandingi hidangan yang begitu luar biasa mewah, melimpah, dan serba wah ini. . . .  Sekali lagi saya mengucapkan terimakasih!” ucap Arjo ketika mengelap bibir dengan handuk basah setelah segelas air putih dingin diminumnya.

“Saya juga berterimakasih sebab Jon Bongsor sudah mau memenuhi undanganku. Dan aku sudaaah barang tentu sangat bergembira sebab semua rencanaku berjalan lancar. Pertama-tama meringkus korban, lalau mengajaknya berbasa-basi secukupnya, lalukemudian membawa ke restoran mewah. Dan akhirnya tanpa diketahui korban pada salah satu masakan sudah dibubuhi racun mematikan. . . . . !” ucap Haji Lolong dengan nada dingin.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun