Mohon tunggu...
Sugiyanto Hadi Prayitno
Sugiyanto Hadi Prayitno Mohon Tunggu... Penulis - Lahir di Ampel, Boyolali, Jateng. Sarjana Publisistik UGM, lulus 1982. Pensiunan Pegawai TVRi tahun 2013.

Pensiunan PNS, penulis fiksi. Menulis untuk merawat ingatan.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Cinta yang Menua - Bab V – Empat (Tantangan 100 Hari Menulis Novel)

14 Mei 2016   22:58 Diperbarui: 14 Mei 2016   23:06 68
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Arjo tidak bisa berkutik. Ia kalah angin, kalah gertak. Jadi sambil berpikir keras diturutinya ajakan kenalan baru yang serba memaksa itu.

Arjo berdua saja dengan Haji Lolong di sebuah ruangan megah ber-AC serba merah, tertutup kaca dari ruangan lain. Ragam hias, aksesoris, cat dinding, perabotan, bahkan lukisan bunga bernuansa tradisional Tiongkok. Arjo tidak bisa membayangkan betapa mahal harga makanan di restoran itu. Bahkan kalaupun uang di dompetnya penuh seperti sekarang, ia akan berpikir seribu kali untuk memasuki restoran ini.

“Kalau boleh berterus terang, saya tidak suka disogok dan diiming-imingi sesuatu agar saya mengerjakan sesuatu. Sebab dengan begitu saya akan menjadi kacung, orang suruhan, bahkan budak yang tidak bernilai dimata pemilik uang. . . . . .!” ujar Arjo tegas. Meski dalam hal ini tidak terlalu yakin. Bukankah ia pun sudah menjadi orang upahan karena menerima janji dari Olleka? Oorang bayaran? Secepat itu Arjo menimpali, ya apa salahnya menjadi agen ganda? Berpihak pada dua orang yang sedang bertikai sambil memanfaatkan keuntungan finansial sebanyak-banyaknya.

“Apakah aku seperti orang yang sedang menyogok orang lain? Gratisifikasi? Hehehe. Kalau saja kamu seorang petugas pajak, petugas kantor hukum, atau minimal pejabat publik, mungkin arahnya ke sana.”

“Tapi begitulah firasat saya. Tidak ada hujan tidak ada angin tiba-tiba. . . . .!”

“Petir menggelegar. . . .hehehe. Ayo duduklah dengan nyaman. Kita makan dulu baru ngobrol, atau sambil nunggu kita ngobrol dulu saja. Hidangan selalu tersaji agak lama, karena kita di sini tidak melulu mau makan. Kita perlu ngobrol, diskusi, tukar cerita, atau apalah. Aku selalu senang ketemu orang baru, terlebih yang tidak tahu siapa aku. . . . ..!” ucap Haji Lolong sambil duduk di kursi yang berseberangan meja dengan Arjo.

Arjo tidak bisa sega menyahut. Ia sedang berpikir keras ke arah mana pembicaraan ini akan beranjak. Dari tadi rasanya hanya basa-basi saja. Namun satu hal yang melegakanhati Arjo: tidak ada kekerasan seperti yang dikhawatirkannya. Tidak ada caci-maki dan kekejaman seperti yang telah dibayangkannya. Setidaknya sampai saat ini.

Agak lama saliang berdiam diri sampai kemudian Haji Lolong membuka suara.

“Begini Jo, atau Jon, begitu saja namamu ya. Jon, supaya terdengar keren. Kalau mau lebih lengkap ya jadi Jon Bongsor, supaya tampak unik dan aneh. . . . . .!” guman lelaki bermata sipit itu. “Agak aneh dan kurang tepat sebenarnya kalau dengan orang baru ternyata aku bisa begitu saja langsung percaya. Mungkin begitu juga pendapatmu. Tapi ini soal penting bagiku!”

“Intinya bagaimana, Bro? Saya panggil ’bro’ saja kalau tidak berkeberatan ya. . . .? Lengkapnya jadi Bro Haji. . . .” ganti Arjo ingin mengubah nama panggilan lawan bicaranya.

“Bro Haji? Silahkan nama apa saja, asalkan ada kata haji di situ. Aku setuju saja. Oke, Jon Bongsor, sekarang giliranmu untuk mendengarkan. . . . .!” ujar Haji Lolong berubah menjadi serius.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun