jakarta belum bebas rokok
Hujan mulai mereda, dan tak lama kemudian berhenti sama sekali. Akivitas orang di luar masjid, di belakang terminal bus itu, kembali sibuk dan ramai. Maklum saja terminal hidup spanjang hari, ibaratnya dua puluh empat jam sehari. Lampu merkuri kuning menembus udara malam yang mulai terbebas dari sisa-sisa hujan.
Sementara itu waktu sholat Isya’ masih sekitar lima belas menit lagi. Masih ada kesempatan bagi Arjo untuk memperbaiki cara komunikasi yang buruk dengan Haji Lolong tadi. Sejenak lelaki tua itu berpikir keras mencari-cari alasan kenapa ada nama Bachtiar David yang mengaku menemukan ponsel Arjo.
Untuk tidak mengganggu jemaah yang lain, Arjo mencari tempat duduk di sudut jauh. Dekat pagar keluar. Ia membuat air kopi dulu yang disediakan gratis di masjid itu. Kopi hitam kental dan manis dengan air yang sangat panas tertuang di gelas plastik. Sehingga membawanya pun mesti sangat berhati-hati. Beberapa jemaah lain juga membuat minuman sendiri, kopi atau teh atau jahe panas, atau sekedar air putih. Lumayan untuk menunggu waktu. Arjo urung mengeluarkan bungkusan rokok dan korek apinya saat terbaca pengumuman ‘dilarang merokok di lingkungan masjid Al Furqon’.
Arjo terkekeh sendiri teringat pada petuah seorang kiyai sepuh. Mbah Saleh Nguditomo namanya, tentang rokok. “Kebiasaan buruk apapun harus dicegah, ditinggalkan, bahkan dijauhi. Tetapi bila sudah terlanjur ya perlahan-lahan saja dikurangi, jangan drastis karena kesannya jadi dipaksakan sekali. . . . . .!”
“Tidak boleh ada pemaksaan ya, Mbah Kiyai Ngudi?” tanya Arjo penasaran.
“Tidak boleh. Itu bibir dan tenggorokan punya sendiri, paru-paru punya sendiri, mau dibikin apa ya terserah masing-masing toh. . . . . .!” ujar mbah sepuh sambil menyedot dalam-dalam rokok kreteknya yang menyengat betul bau klembak-menyannya. Wajahnya serius dengan gurat-gurat yang kehitaman karena pekerjaannya sehari-hari sebagai petani yang membiarkan dirinya disiram sinar matahari dari pagi hingga petang.
“Wah jadi menarik bicara soal rokok dan seluk-beluk disekitarnya di mata seorang kiyai sepuh sekaligus petani tembakau sukses. . . . .!” komentar Arjo spontan. Ia mengeluarkan bungkus rokok kreteknya, mengambil sebatang, lalu menyulut dan beberapa saat kemudian menyedotnya dengan sepenuh semangat mendapatkan kehangatan asap bernokotin itu.
Mbah Ngudi ganti tertawa terbahak disebutkan sebagai petani tembakau. Ya, memang itulah pekerjaan sehari-harinya. Jadi bagaimana mungkin ia dapat menghentikan kebiasaannya merokok kalau dengan daun tembakau dihidupinya anak, cucu, bahkan buyut? Bagaimana ia akan membiarkan orang berpendapat seenaknya tentang rokok kalau mereka tidak punya tanggung jawab mengupah belasan orang pekerja harian penggarap lahan pertanian tembakau yang dijalankannya? Tentu itu alasan mbah Ngudi dibalik ucapannya tidak boleh ada pemaksaan agar orang berhenti merokok. “Aku memang petani tembakau turun-temurun!”
Arjo menimpalinya dengan tawa yang tak kalah keras, sambil pelan-pelan mengeluarkan rokok kreteknya. Mengambil sebatang lalu menyulut, dan ketika api di ujung rokok membesar disedotnya bersemangat dan dengan sepenuh perasaan, untuk mendapatkan kehangatan asap bernikotin itu.
Tiap sedotan dan embusan asap putih mengepul menandai kehidupan yang memberi harapan baik, bukan semata soal kesehatan, di sana ada beragam harapan untuk memerkaya rasa kehidupan. Ah, entah alasan apalagi yang harus dikarang untuk mencari pembenaran bahwa rokok yang sudah terlanjur punya dunianya sendiri itu tidak boleh begitu saja dimatikan.
Di tempat duduknya di pojok belakang halaman masjid Al Furqon itu Arjo mengenang satu saja dari beberapa pecandu rokok yang dikenalnya dengan aneka argumenasi mereka. Tentu kemudian ada yang harus betul-betul stop setelah dokter menyatakan paru-paru orang itu bolong dan jatah umur pun tinggal sekitar tiga bulan. Ada yang menceraikan rokok sekaligus kopi hitam yang menemaninya puluhan tahun sebagai pelukis. Bersamaan dengan itu produktivitas dan kreativitasnya dalam melukis mampet karena penyakit yang menderanya telah betul-betul sangat mengganggu.
“Ayo Bang kita merokok di warung depan sana saja!” ujar seorang lelaki paruh baya sambil menyenggol lengan.
Arjo menoleh cepat dan mendapati Aa Enjang, kawan seprofesi dalam menggowes sepeda tua alias tukang ojek sepeda onthel sudah berdiri di samping kanan. “Hai, Aa Enjang? Kumaha damang?
“Alhamdulillah . . . . .saya sehat, Bang. Terus Abang sendiri sehat ‘kan?”
“Sehat dan waras, meski nyaris celaka. Bagaimana Aa tahu aku sedang mikiran soal rokok?”
“Aa tahu sebab tidak ada waktu senggang bagi Bang Arjo kecuali merokok. Nah, sekarang terlihat bengong kayak pengarang kehabisan ide. . ., , ,!” ujar Aa Enjang sambil melangkah ke luar halaman masjid. “Ayo kita ngobrol di warung itu!”
“Kenapa tidak nunggu setelah sholat Isya’ nanti saja?”
“Aa ada perlu penting, mendadak. Sampai ketemu ya. . . . . .!” ujar AA Enjang seraya melangkah, lalu berhenti dan berbisik di telinga Arjo. Ada perempuan cantik yang tadi pagi mencari-cari Abang. Kalau tidak salah ia beberapa kali abang boncengin. Mungkin kangen. .. . . . . .!”
“Siapa?”
“Siapa lagi? Wasi si presenter cantik itu. Aa cuma heran saja, kenapa lelaki gaek macam abang ini masih ada perempuan cantik mencari-cari. . . .hehehehh. Sementara lelaki yang lebih muda dan lebih ganteng seperti aku ini nggak laku-laku. . . .!”
“Wasi? Jangan dusta!’ seru Arjo saraya berdiri. “Kalau mau dicintai dunia harus rajin sholat tahajud dan sholat duha. Dari sana wajahmu bakal bercahaya dan rezeki mengalir deras termasuk dalam soal jodoh. . . . .!” ucap Arjo sok menasehati. Padahal ia sendiri gagal dalam tiga kali menikah.
“Begitu ya? Orang jalanan macam kita ini kapan sempat punya waktu melakukan sholat selain sekadar yang lima waktu? Apa Abang juga melaksanakannya?”
“Tidak rutin tapi melakukan. Sayangnya aku termasuk yang gagal dalam soal rumah-tangga. Jadi sudahlah. . . . . .!” ucap Arjo terhenti melihat Aa Enjang sudah menjauh dengan melambaikan tangan.
Sibuk dengan aneka kegiatan entah apa, Arjo tiba-tiba teringat harus segera menelepon Haji Lolong. Pasti lelaki itu –entah bagaimana bentuk dan rupanya, karena belum pernah ketemu langsung- pasti sangat geram dipermainkan. Dari tadi Arjo mencari-cari akal bagaimana meralat tipuannya soal Bachtiar David tadi. Namun bukan Arjo kalau kehilangan kemampuan berubah-ubah karakter. Dengan memperlihatkan wajah, gerakan tubuh, juga warna suara maka orang akan percaya pada peran apa yang sedang dibawakannya.
Arjo punya pikiran untuk berdusta saja dengan mengatakan seperti yang dikemukakan Bachtiar David: ponsel ketinggalan, ditemukan orang yang mau mengembalikan asalkan ditebus.
“Hallo, Pak Haji? Haji Lolong di sana?” seru Arjo dengan suara ditekan agar tidak terlalu berisik mengganggu jemaah di sekitarnya.
“Arjo? Kamu di situ? Mau bohong apa lagi?” sahut orang dari seberang sana. Agaknya benar, Haji Lolong masih menampakkan rasa geram seperti terdengar dari nada suaranya.
“Maaf tadi. . . . .!” Arjo coba berkilah, namun suara di seberang sana lebih cepat menyerobot.
“Kamu sekarang ada di mana?”
“Di Masjid Al Furqon, belakang terminal bus Kampung Batu Apung. Rasanya malam ini saya tidak bisa memenuhi janji untuk bertemu. Besok pagi-pagi saja. Pagi dan siang ada persoalan yang begtu berat harus saya selesaikan, hingga hampir saja saya melupakan ada janji dengan Pak Haji. . . . .!” ungkap Arjo dengan agak anjang-lebar karena yakin orang di seberang sana masih memasang kuping di ponsel. “Tapi ngomong-ngomong urusan penting apa sehingga Pak Haji memerlukan saya yang bahkan kita belum saling kenal. Saya was-was jangan-jangan Pak Haji mau mencelakai saya, membuat saya jadi santapan buaya misalnya, atau mengupas seluruh kulit saja untuk dibuat kerupuk. . . . . . .!”
Agak ngelantur Arjo ngomongnya. Sebab dirasa lawan bicaranya tidak bereaksi sama sekali. Bahkan tidak menyahut apapun. Jangan-jangan ponsel Haji Lolong digeletakkan begitu saja, lalu ditinggal untuk beranjak entah kemana.
Ketika adzan Isya’ digemakan melalui loudspeaker masjid, Arjo bergegas membuang gelas plastik yang telah kosong, lalu menuju ke ruang wudhu. Pada saat itu seorang laki-laki menggamitnya, dengan berbisik : “Setelah sholat Isya; kita bertemu dengan Haji Lolong ya. . . . .!”
“Haji. . . . .? apa aku mengenalmu?” Arjo bicara tergagap. Ia merasa sangat trauma terhadap orang asing yang tiba-tiba bersikap akrab. Dua orang terakhir yang menculiknya bersikap serupa itu.
“Dia menunggu di dalam mobil di samping terminal. Ia tidak ikut sholat berjamaah di masjid ini karena terburu-buru harus segera pergi. . . . . !”
“Apa aku akan disekap? Buruk nian nasibku hari ini?” ucap Arjo seraya bergegas merapikan posisi berdiri dalam baris shaf keempat diantara jemaah lain. . . . .
Sementara itu beberapa orang jamaah masih berdatangan, bergegas dan berdesakan. Agaknya jamaah masjid Al Furqon cukup banyak. Maklumlah letak masjid sangat trategis dan dekat dengan lokasi keramaian. Penumpang yang akan berangkat maupun awak bus malam menyempatkan diri untuk melaksanakan sholat wajib berjamaah dulu.
(Bersambung)
Bandung, 7 Mei 2016
Sumber gambar : di sini
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H