Mohon tunggu...
Sugiyanto Hadi Prayitno
Sugiyanto Hadi Prayitno Mohon Tunggu... Penulis - Lahir di Ampel, Boyolali, Jateng. Sarjana Publisistik UGM, lulus 1982. Pensiunan Pegawai TVRi tahun 2013.

Pensiunan PNS, penulis fiksi. Menulis untuk merawat ingatan.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Cinta yang Menua, Bab V – Satu

2 Mei 2016   23:59 Diperbarui: 3 Mei 2017   07:17 115
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Berwudhu via www.akhwatindonesia.net

Arjo menggunakan bus ekonomi untuk kembali ketempat tingganya. Di daerah padat belakang gedung-gedung megah kota metropolitan. Sudah mandi, ganti kaos yang dibelinya pada penjual di toko busana. Serta masuk ke restoran cukup mewah. Ketika makan dan menikmati gaya orang kaya seketika hilang sakit dan memar di sekujur tubuh. Yang ada hanya rasa bahagia, dan suka-cita. Apapun caranya ternyata sangat tak terduga bahwa rezeki bisa mampir kapan saja, dari tempat yang tak terduga, bahkan juga seberapa pun besarnya.

“Kepala kakap, udang, dan rendang. Nasi tiga sekaligus. Juga es jeruk. . . . .!” ucap Arjo ketika ditanyamenu apa yang dipilihnya. Suaranya mantap dan bergaya. Wajahnya dibuat sehebat dan berwibawa menyerupai seorang cagub yang ahli tata negara itu. Oya, tentu bibirnya dibuat agak mampet seperti sikap orang yang sedang menahan buang hajat.

“Sedang panen raya, Bos?” goda seorang pelayan lelaki dengan setengah mengejek.

Arjo terjingkat dan sempat lupa pada mimik hebat yang sedang diperankannya. Tiba-tiba ia kembali pada wajah asli, seorang tua yang rombeng namun penuh harapan. Seketika wajahnya beralih menjadi wajah orang kelaparan.

“Jangan banyak cakap kau. Abang bukan petani, tapi saudagar jasa serba aneka. . .!”

 “Saudagar macam mana pula itu?” balas si pelayan dengan logat Medan kental.

“Macam pala kau itu. . . . .hahahaha. . . . .! Cepatlah kau siapkan pesananku. Jangan pula sempat nanti kumakan pala kau. . . . .hahaha!” Arjo geli sendiri.

Perjalanan hidup mempertemukannya dengan beberapa suku bangsa dengan cukup intens. Dan itu kenapa secara umum ia mampu menirupkan logat dan bahasa mereka. Ketika hidangan tersaji, Arjo tak ingat lagi pada peran apapun. Jangan lagi mimik dengan bibir mampet seorang lelaki menahan hajat. Ia tak memperhatikan bahwa di kantong celana sebuah gembolan besar menarik perhatian seorang pencopet yang duduk mencakung di sisi tangga masuk restoran. Otaknya sedang sibuk mencari modus. Lalau ia mengerjap-ngerjapkan mata seperti biasa ketika sedang berpikir keras danmendesak. Sampai kemudian seseorang menyodorkan selembar uang warna merah di depan hidungnya.

“Makanlah, dan jangan pernah berpikir mampu mengakaliku dengan keterampilan tanganmu itu. Aku pernah dalam posisimu, jadi tahu persis bagaimana kondisi perutmu saat ini. . . . . !” gumam Arjo seraya beranjak pergi.

Harta yang nomplok begitu saja, makan siang menjelang sore yang mewah, kedermawanan yang menjebak, serta terutama harapan hidup yang lebih berwarna kedepan menjadikan Arjo kembali menemukan insting kearifan. Sepuluh juta rupiah ada di kantong Arjo, dikurangi harga makanan dan selembar untuk si pencopet. Jumlah yang tak banyak  bagi si kaya tentu. Namun bagi Arjo, entah sudah berapa belas tahun lalu ia pernah memegang uang sebanyak itu.

Petang hari Arjo menapakkan kaki kembali di terminal kota. Gerimis mulai jatuh satu-satu, mendung tebal mengganung di as kota. Sebentar lagi ak pelak air hujan bakal membanjir, dan seperti biasa genangan air meanda tiap sudut kota. Ia melangkah untuk mencari taksi. Itu cara paling praktis untuk selamat dari air hujan, meski tak dijamin selamat dari genangan dan banjir di jalan yang dilalui. Tiba-tiba ia ingat rencana apa yang tadi pagi akan dilakukannya: memenuhi undangan Haji Lolong!

“Temui aku di dekat kios buku Pasar Klengkeng, jam 13.00. Awas jangan menghindar yaaa. . . . . .!” Arjo menirukan kembali ucapan Pak Haji dari ujung seberang sana ponselnya. Ia melihat ke jarum jam tangan. Hampir maghrib. Ia memutuskan untuk singgah di masjid Jami' di belakang terminal.

“Undangan Allah bakal lebih bermanfaat dipenuhi daripada undanganmu, Pak Haji. Kalau masih sabar menunggu, tunggulah meski sampai tengah malam nanti. Aku bukan lelaki pengecut yang takut dengan siapapun, kecuali kepada si pembuat rasa takut itu sendiri.. . . . !” bantin Arjo seraya melangkah ke  gang masjid.

Para jemaah mulai berdatangan dari berbagai arah. Sebagian besar mengenakan baju gamis warna-warni, bersarung kotak-kotak, dan berkopiah putih. Arjo tak berkopiah, sebagian rambutnya sudah putih keperakan oleh uban.

Ketiga adzan Maghrib dikumandangkan, hujan melebat.  Beruntung Arjo sudah sampai di ruang untuk berwudhu laki-laki. Suara hujan riuh di atas atap seng seperti suara jutaan kerikil ditaburkan. Sedangkan petir bersahutan, sambar-menyambar ganas, memunculkan kilatan terang yang menyilaukan. Terlebih juga mengagetkan dada karena ledakan dan dentuman yang entah di mana dan kemana, namun yang pasti dari atas langit sana. . . . .

(Bersambung)

Bandung, 2 Mei 2016

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun