Petang hari Arjo menapakkan kaki kembali di terminal kota. Gerimis mulai jatuh satu-satu, mendung tebal mengganung di as kota. Sebentar lagi ak pelak air hujan bakal membanjir, dan seperti biasa genangan air meanda tiap sudut kota. Ia melangkah untuk mencari taksi. Itu cara paling praktis untuk selamat dari air hujan, meski tak dijamin selamat dari genangan dan banjir di jalan yang dilalui. Tiba-tiba ia ingat rencana apa yang tadi pagi akan dilakukannya: memenuhi undangan Haji Lolong!
“Temui aku di dekat kios buku Pasar Klengkeng, jam 13.00. Awas jangan menghindar yaaa. . . . . .!” Arjo menirukan kembali ucapan Pak Haji dari ujung seberang sana ponselnya. Ia melihat ke jarum jam tangan. Hampir maghrib. Ia memutuskan untuk singgah di masjid Jami' di belakang terminal.
“Undangan Allah bakal lebih bermanfaat dipenuhi daripada undanganmu, Pak Haji. Kalau masih sabar menunggu, tunggulah meski sampai tengah malam nanti. Aku bukan lelaki pengecut yang takut dengan siapapun, kecuali kepada si pembuat rasa takut itu sendiri.. . . . !” bantin Arjo seraya melangkah ke gang masjid.
Para jemaah mulai berdatangan dari berbagai arah. Sebagian besar mengenakan baju gamis warna-warni, bersarung kotak-kotak, dan berkopiah putih. Arjo tak berkopiah, sebagian rambutnya sudah putih keperakan oleh uban.
Ketiga adzan Maghrib dikumandangkan, hujan melebat. Beruntung Arjo sudah sampai di ruang untuk berwudhu laki-laki. Suara hujan riuh di atas atap seng seperti suara jutaan kerikil ditaburkan. Sedangkan petir bersahutan, sambar-menyambar ganas, memunculkan kilatan terang yang menyilaukan. Terlebih juga mengagetkan dada karena ledakan dan dentuman yang entah di mana dan kemana, namun yang pasti dari atas langit sana. . . . .
(Bersambung)
Bandung, 2 Mei 2016
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H