Mohon tunggu...
Sugiyanto Hadi Prayitno
Sugiyanto Hadi Prayitno Mohon Tunggu... Penulis - Lahir di Ampel, Boyolali, Jateng. Sarjana Publisistik UGM, lulus 1982. Pensiunan Pegawai TVRi tahun 2013.

Pensiunan PNS, penulis fiksi. Menulis untuk merawat ingatan.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Cinta yang Menua #Bab IV – Tiga (Tantangan 100 Hari Menulis Novel)

23 April 2016   22:26 Diperbarui: 23 April 2016   22:41 83
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="landscape water color painting"][/caption]Arjo terbatuk kecil, dan berjalan mendekat dengan berbagai perkiraan yang ada dalam pikirannya. Dan secepat itu berusaha menghapus kegugupannya. “Ohh, ada tamu rupanya. Maaf, tapi kenapa tidak ada sopan-santun sedikit pun untuk  sekadar mengetuk pintu dan uluk salam misalnya. .  . .!”

Perempuan muda itu menoleh, dan tersenyum. Tanpa sedikit pun tergerak dari tempat duduknya. Lalu tertawa tergelak-gelak seperti orang gila. “Akulah pemilik rumah ini. Namaku Olleka. Jadi siapa yang tamu di sini? Siapa yang mestinya ketuk pintu dan mengucap salam?”

Arjo tercenung, mati kutu oleh jawaban yang jitu itu, menarik nafas panjang. Namun tetap saja penuh penasaran. Apa hubungannya kedatangan perempuan itu dengan kejadian penculikan? Ada hubungan apa dengan Haji Lolong?

“Ohya, inilah yang bernama Arjo, ya? Arjo Kemplu, sebuah nama yang aneh dan berbau premanisme. Barangkali memang benar sangkaan suamiku. Arjo Kemplu tak lebih dari bandit kecil-kecilan yang sok jago dengan tindakan heroik membela perempuan cantik dan populer bernama Wasistra Anggraini. . . . . .!”

Arjo tercengang dan tidak segera tahu ke arah arah mana pembicaraan perempuan berpenampilan sangat lelaki di depannya itu. Ia berpikir keras menghubungkan setiap kata yang baru saja didengarnya dengan apa saja yang sudah dialaminya. Tapi tetap saja buntu. Tidak nyambung, dan tidak tahu.

Belum sempat Arjo berkata apapun perempuan itu kembali nerocos. “Kukira Arjo masih muda dan berpenampilan cakep kayak bintang sinetron. Rupanya dugaanku jauh panggang dari api. Wajah keriput, tua renta dengan tubuh gontai memprihatinkan. Apakah aku tidak salah lihat?”

“Ya, memang inilah bentuk fisikku, Nona Olleka. Tapi bentuk ini sama sekali tidak menggambarkan kobaran semangat hidup di dada ini. Juga semangat mempertahankan diri meski harus melakukan apapun, dan bahkan ketika diperlakukan bagaimana pun. Orang boleh meremehkan penampilanku tapi soal kelelakian dengan semua aspeknya boleh diadu. . . . . .!” sahut Arjo ganti menggertak.  Pandangannya lurus, dingin, Wajahnya datar saja, seperti karakter antagonis dalam drama kriminal yang sering diperankannya.

“Ohh, begitu ya?  Tinggi juga omonganmu, Pak Tua. . . . .!”

“Nona Olleka boleh memanggilku Arjo saja. Supaya gampang, dan segera selesai urusan kita ini. . . . . .!” ujar Arjo sambil menuju ke kursi lain, lalu duduk begitu saja dengan sikap waspada. Meski sama sekali tidak tahu urusan apa dengan Olleka, tapi pastilah terkait dengan soal penculikan dan penyanderaan dirinya oleh dua orang mabuk yang terikat dan pingsan di ruang depan.

Sejenak diam, sunyi. Tidak ada kata-kata, juga gerakan tubuh. Perempuan itu tiba-tiba berdiri, dan bersamaan dengan itu  Arjo pun spontan berdiri.

“Ayo kita lihat apa yang terjadi dengan dua orang yang kusuruh mengawalmu ke sini. Aku sangat heran kenapa kamu dapat terlepas dari ikatan. . .. .!” ujar Olleka seraya berjalan ke ruang depan. Arjo mengikuti dari belakang. Dicermatinya perempuan berkulit terang dengan rambut cepak, dengan pakaian ketat dari kulit itu. Dari belakang tidak terlihat sedikit pun gaya perempuan yang ditampilkannya.

“Jangan melihatku seperti itu, Arjo. Aku bukan tipemu. Lagian tidak mungkin aku tertarik pada lelaki tua yang memprihatinkan seperti kamu. . . . .!” ujar Olleka begitu yakin kalau keseluruhan penampilan dilihat lekat oleh Arjo.

Tentu saja Arjo tergelak dalam hati. Lelaki mana yang melewatkan kesempatan sekecil apapun untuk menikmati keelokan tubuh perempuan, sekalipun mungkin perempuan itu berjiwa lelaki. Arjo melengos, dan berpura melihat ke arah langit-langit. Pada saat itu si perempuan menengok. Dibukanya jaket kulit hingga tinggal atasan tipis yang memperlihatkan lekuk-liku keseksian tubuhnya. Ditaruhnya jaket itu di hanger di lorong penghubung ruang belakang dan depan itu.  Arjo bersikap acuh tak acuh saja.

“Yang pasti aku lebih cantik dan  lebih segalanya dibandingkan dengan Wasi. Itu kenapa Bang  Ibram meningalkannya meski telah beranak tiga, dan bealih kepelukanku. . . . .!”

“Nggak nyangka, Wasi ternyata seorang janda dengan tiga anak,” Arjo tidak mampu mengerem rasa inginan tahunya sehingga terlontar tanya itu.

“Apa kamu kira ia seorang gadis? Oh, rupanya ilmu katurangganmu cetek sekali. Umur tidak memberimu perubahan berarti dalam menaksir watak dan fisik seseorang. Jadi bagaimana mungkin kamu mengaku diri seorang pecinta perempuan?”  itu terkikik sendiri entah oleh pikian apa, tapi tiba-tiba ia nyeletuk. “Jangan-jangan seperti sifat manusia, kamu pemakan segala. . . . !”

Arjo berjalan mendahului. Baginya terasa sekali perempuan lawan bicaranya kali ini terlalu muluk menilai diri sendiri. Lalu diucapkannya : “Ohh, begitu ya. Ternyata kamu kawan bercakap yang berwawasan luas. Pasti Bang Ibram senang sekali mendapati isteri dengan selera humor dan daya tarik seksual mumpuni sepertimu. . . . .!”

Tanpa diketahui Arjo sebuah ayunan tangan kuat mengarah ke pipi kiri lelaki itu. Namun reaksi itu sudah dibaca dengan baik oleh Arjo. Dengan refleks merundukkan kepala maka kelebatan lengan perempuan itu menampar angin. Bahkan celakanya dapat ditangkap Arjo. Daya dorong yang kuat menjadikan keseimbangan Olleka tidak stabil. Karuan saja tanpa terhindarkan ia jatuh ke dalam pelukan si gaek. Sebuah adegan yang pasti membingungkan dua orang yang tergeletak di lantai dan sejak tadi sudah tersadar namun tidak dapat berbuat apa-apa.

Betapa malunya perempuan itu sehingga wajahnya seketika merah padam. Ia dengan canggung melepaskan diri dari pelukan Arjo, dan merapikan baju atasannya yang sedikit tersingkap tadi. “Oh, tanpa sengaja aku dapat membuktikan kamu lelaki gaek dengan karakter playboy. . . . . .!”

Arjo diam, tidak ingin menambah malu Olleka. Di tangan seorang pemain andal perempuan macam apapun bakal bertekuk lutut untuk mengakui kekalahan. Dan Arjo seorang pemain andal. Ia seorang penakluk sampai dengan umurnya yang tidak muda lagi itu.

Burik mengerang saja sebab dirasakan kini ada tulang rusuknya yang patah. Sementara Codot memaki-maki tak henti-henti. Sekujur tubuhnya lecet dan luka. Arjo telah menendang kedunya dengan tenaga ekstra sehingga pasti terasa ngilunya tubuh mereka sekarang.

“Aku tidak peduli hukumannya, tapi Arjo pasti kubunuh jika ketemu lagi kelak. . . . .!” teriak Jhonson Mukidi alias Burik ketika mendengar ada langkah orang mendekat. Ia tidak segera mengenali siapa yang datang.

“Apa kamu yakin masih hidup kalau dia menghajar kita lagi?” teriak Tumin Alexander yang akrab dipanggil Codot menyahut.

“Bahkan kamu pun akan kubunuh pula!”

“Bagaimana mungkin seorang lelaki takut tikus akan menjadi pembunuh? Jangan mengada-ada kamu, Burik. Ngaca. Belajarlah dulu untuk menjadi kejam. Belajarlah dulu untuk menjadi si raja tega, Dasar dungu . . . .!”

“Stop! Hentikan ocehan kalian. Apa kalian masih mabuk?” teriak Olleka lantang. Seketika dua lelaki dengan kondisi badan jauh berbeda itu terdiam dengan terkejut.

“Ohh, Bos. . . . . . Bagaimana nasib kami ini?” hampir bersamaan Burik dan Codot melontarkan pertanyaan tentang kondisi mereka. Keduanya tampak sangat lemah dan kesakitan. Minuman keras, hajaran di tubuh, dan perkelahian menjadikan keduanya sangat menderita. Olleka menduga agaknya mereka telah ganti dihajar habis-habisan oleh Arjo. Atau oleh sebab lain?

“Kalian sendiri yang memilih menjadi begitu. Bukankah tadi pagi kalian membawa Arjo dalam kondisi terikat. Kenapa kini keadaan berbalik?” Olleka menyahut setengah menghardik. “Apa yang sebenarnya terjadi?”

“Kami minum terlalu banyak epanjang perjalanan sehingga tidak dapat menguasai diri. Beruntung apat sampai di sini. Beberapa kali kendaraan kami hampir masuk jurang. Tapi di rumah ini kami betul-betul kehilangan kesadaran hingga Arjo dapat melepaskan diri dari ikatan dan ganti mengikat kami. Bahkan Arjo pun telah ganti menghajar kami. . . . .!”

“Cukup. Hentikan! Kalian berdua memang keterlaluan dungu. Dan itu akibatnya.. . . . . !” dengus Olleka dengan kesal. Ia membayangkan berapa banyak uang yang harus dikeluarkan untuk pengobatan. Dan lebih dari itu juga berapa uang untuk membungkam mulut Arjo agar persoalan itu tidak menjadi urusan polisi?

“Apakah ada yang dapat kita diskusikan dari keadaan ini, Nona Alleka?” tanya Arjo ketika kedua orang yang tergeletak di lantai itu mulai tenang.

(Bersambung)

Bandung, 23 April 2016

Sumber gambar : painting_landscape

Cerita sebelumnya : bab-iv-dua, bab-iv-satu

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun