“Apa kamu yakin masih hidup kalau dia menghajar kita lagi?” teriak Tumin Alexander yang akrab dipanggil Codot menyahut.
“Bahkan kamu pun akan kubunuh pula!”
“Bagaimana mungkin seorang lelaki takut tikus akan menjadi pembunuh? Jangan mengada-ada kamu, Burik. Ngaca. Belajarlah dulu untuk menjadi kejam. Belajarlah dulu untuk menjadi si raja tega, Dasar dungu . . . .!”
“Stop! Hentikan ocehan kalian. Apa kalian masih mabuk?” teriak Olleka lantang. Seketika dua lelaki dengan kondisi badan jauh berbeda itu terdiam dengan terkejut.
“Ohh, Bos. . . . . . Bagaimana nasib kami ini?” hampir bersamaan Burik dan Codot melontarkan pertanyaan tentang kondisi mereka. Keduanya tampak sangat lemah dan kesakitan. Minuman keras, hajaran di tubuh, dan perkelahian menjadikan keduanya sangat menderita. Olleka menduga agaknya mereka telah ganti dihajar habis-habisan oleh Arjo. Atau oleh sebab lain?
“Kalian sendiri yang memilih menjadi begitu. Bukankah tadi pagi kalian membawa Arjo dalam kondisi terikat. Kenapa kini keadaan berbalik?” Olleka menyahut setengah menghardik. “Apa yang sebenarnya terjadi?”
“Kami minum terlalu banyak epanjang perjalanan sehingga tidak dapat menguasai diri. Beruntung apat sampai di sini. Beberapa kali kendaraan kami hampir masuk jurang. Tapi di rumah ini kami betul-betul kehilangan kesadaran hingga Arjo dapat melepaskan diri dari ikatan dan ganti mengikat kami. Bahkan Arjo pun telah ganti menghajar kami. . . . .!”
“Cukup. Hentikan! Kalian berdua memang keterlaluan dungu. Dan itu akibatnya.. . . . . !” dengus Olleka dengan kesal. Ia membayangkan berapa banyak uang yang harus dikeluarkan untuk pengobatan. Dan lebih dari itu juga berapa uang untuk membungkam mulut Arjo agar persoalan itu tidak menjadi urusan polisi?
“Apakah ada yang dapat kita diskusikan dari keadaan ini, Nona Alleka?” tanya Arjo ketika kedua orang yang tergeletak di lantai itu mulai tenang.
(Bersambung)
Bandung, 23 April 2016