Mohon tunggu...
Sugiyanto Hadi Prayitno
Sugiyanto Hadi Prayitno Mohon Tunggu... Penulis - Lahir di Ampel, Boyolali, Jateng. Sarjana Publisistik UGM, lulus 1982. Pensiunan Pegawai TVRi tahun 2013.

Pensiunan PNS, penulis fiksi. Menulis untuk merawat ingatan.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Cinta yang Menua #Bab IV – Tiga (Tantangan 100 Hari Menulis Novel)

23 April 2016   22:26 Diperbarui: 23 April 2016   22:41 83
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Apa kamu yakin masih hidup kalau dia menghajar kita lagi?” teriak Tumin Alexander yang akrab dipanggil Codot menyahut.

“Bahkan kamu pun akan kubunuh pula!”

“Bagaimana mungkin seorang lelaki takut tikus akan menjadi pembunuh? Jangan mengada-ada kamu, Burik. Ngaca. Belajarlah dulu untuk menjadi kejam. Belajarlah dulu untuk menjadi si raja tega, Dasar dungu . . . .!”

“Stop! Hentikan ocehan kalian. Apa kalian masih mabuk?” teriak Olleka lantang. Seketika dua lelaki dengan kondisi badan jauh berbeda itu terdiam dengan terkejut.

“Ohh, Bos. . . . . . Bagaimana nasib kami ini?” hampir bersamaan Burik dan Codot melontarkan pertanyaan tentang kondisi mereka. Keduanya tampak sangat lemah dan kesakitan. Minuman keras, hajaran di tubuh, dan perkelahian menjadikan keduanya sangat menderita. Olleka menduga agaknya mereka telah ganti dihajar habis-habisan oleh Arjo. Atau oleh sebab lain?

“Kalian sendiri yang memilih menjadi begitu. Bukankah tadi pagi kalian membawa Arjo dalam kondisi terikat. Kenapa kini keadaan berbalik?” Olleka menyahut setengah menghardik. “Apa yang sebenarnya terjadi?”

“Kami minum terlalu banyak epanjang perjalanan sehingga tidak dapat menguasai diri. Beruntung apat sampai di sini. Beberapa kali kendaraan kami hampir masuk jurang. Tapi di rumah ini kami betul-betul kehilangan kesadaran hingga Arjo dapat melepaskan diri dari ikatan dan ganti mengikat kami. Bahkan Arjo pun telah ganti menghajar kami. . . . .!”

“Cukup. Hentikan! Kalian berdua memang keterlaluan dungu. Dan itu akibatnya.. . . . . !” dengus Olleka dengan kesal. Ia membayangkan berapa banyak uang yang harus dikeluarkan untuk pengobatan. Dan lebih dari itu juga berapa uang untuk membungkam mulut Arjo agar persoalan itu tidak menjadi urusan polisi?

“Apakah ada yang dapat kita diskusikan dari keadaan ini, Nona Alleka?” tanya Arjo ketika kedua orang yang tergeletak di lantai itu mulai tenang.

(Bersambung)

Bandung, 23 April 2016

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun