Mohon tunggu...
Sugiyanto Hadi Prayitno
Sugiyanto Hadi Prayitno Mohon Tunggu... Penulis - Lahir di Ampel, Boyolali, Jateng. Sarjana Publisistik UGM, lulus 1982. Pensiunan Pegawai TVRi tahun 2013.

Pensiunan PNS, penulis fiksi. Menulis untuk merawat ingatan.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Cinta yang Menua # Bab IV – Satu (Tantangan 100 Hari Menulis Novel)

18 April 2016   17:11 Diperbarui: 18 April 2016   17:19 90
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="alcohol image - sumber http://www.dreamstime.com"][/caption]

Sebuah minibus terpakir di halaman belakang, tersembunyi di antara pohon buah-buahan yang tumbuh pendek, Di seputar halaman tempat peristirahatan yang luas itu berjajar jenis pohonan hutan yang tumbuh menjulang rimbun. Letaknya di sisi terjauh sebuah perkebunan teh di pegunungan selatan. Rumah-rumah lain tertata rapi berdiri berjauhan. Cuaca mendung dan angin bertiup cukup kencang dari perbukitan.

Sebuah rumah kuno dari kayu tampak masih terawat. Di lantai ruang belakang dekat dapur teronggok sesosok tubuh. Masih bernafas namun seperti tersengal-sengal hampir putus. Lelaki bertubuh jangkung itu ditelikung dengan tali rafia di kedua lengan dan kedua kaki. Kelopak mata dan mulut pun dibebat lakban. Sudah dua jam  lebih pingsan, belum ada tanda-tanda siuman.

Di teras depan dua orang lelaki berjalan kalut hilir-mudik. Resah menunggu hampir dua jam di situ. Keduanya asyik merokok untuk menghilangkan rasa cemas. Mata keduanya merah menyala, juga wajah dan mungkin seluruh permukaan kulit. Tentu itu gara-gara minuman fermentasi berkadar alkohol tinggi yang terus ditenggak sedikit demi sedikit dari pagi.

“Ini pekerjaan gila. Betul-betul gila. Seumur hidupku baru kali ini aku diburu rasa takut dan cemas karena urusan orang lain begini. . . . . .!” ujar si lelaki berkacamata hitam yang bertubuh tambun.

Tonjolan kulit perut kemana-mana menandai semangat dan selera makannya yang luar biasa rakus. Namanya Jhonson Mukidi namun kawan-kawannya lebih sering memanggilnya Burik. Sekujur kulitnya memang burik seperti terkena goresan canting panas untuk membatik.

Perintah kerja yang harus mereka lakukan hari itu betul-betul menguras  keberanian dan kenekatan. Sangat menegangkan. Seumur hidup baru kali ini ia berlaku kasar, dan bahkan mengumbar ancaman untuk membunuh. “Kalau saja lelaki itu mau sedikit lembut menuruti keinginan kita, pasti tidak perlu ada kekerasan. Jadi bukan salah kita. Itu pilihan dia sendiri. . . .!”  ujar Burik lagi.

“Jangan-jangan perlakuan kita memang kelewatan. Lelaki itu tegap dan tampak kukuhn itu sebenarnya ringkih, kukira umurnya lima puluh atau enam puluh. Ibaratnya tertiup angin saja sudah meliuk-liuk lemah. . . . .!” jawab Tumin Alexander yang bertubuh kurus kering mirip batang bambu di musim kemarau panjang. Sesama kawan ia lebih sering dipanggil sebagai Codot karena kesukaannya pada buah-buahan apapun, terutama yang dapat dicuri dan dimakan di pohon.

“Ahh, mudah-mudahan Majikan kita memberi bonus yang gede karena pekerjaan kita lancar dan sukses. Ingat perintahnya: bekuk dan gelandang lalu bawa ke rumah bambu di ujung perkebunan.. . . .!” ujar Burik sambil sesekali menguap lebar dilanda rasa ngantuk yang tak tertahankan. Tanpa mengucapkan kata-kata lain, Burik sudah terjengkang di lantai. Pengaruh minuman keras membakar urat-syaraf sampai  keubun-bubun, hingga otot dan tulang melunglai lemah.

Codot terkekeh, lalu berdiri terhuyung-huyung. Dan dengan sepatu boot kulit ditendangnya rusuk temannya itu dengan sekali hajar. Sukses juga karena seperti ada tulang yang patah.

“Mampus kamu, jangan pernah merasa diri lebih superior kalau pun menjadi anak kesayangan Bos. Kali ini pun kamu pasti bermain curang dengan memberi bagianku jauh lebih sedikit daripada bagianmu. . . .  Nah, itu rasakan nanti kalau sudah siuman!” seru Codot dengan rasa marah.

Kapan lagi melakukan pembalasan kalau bukan saat lawan mabuk, pikir Codot. Itu saat yang sangat ditunggu-tunggu memang. Sebagai sopir ia tahu betul di mana batas boleh menenggak minuman beralkohol. Tanpa perhitungan maka perjalanan bukan sampai ke tujuan tapi justru ke rumah sakit, atau bahkan langsung ke kuburan.

Kemarahan Codot dipicu oleh sikap Burik yang keterlaluan. Di depan bos semua kesalahan sekecil apapun ditimpakan kepada sopir. Bahkan sepanjang jalan dalam  upaya menghilangkan jejak dari  lokasi awal penculikan mulut dan tangannay erus menghajar korban. Anehnya sesekali tangan lelaki setengah budeg itu juga menghajar wajah dan tengkuk Codot. Kurangajar memang. Kalau sudah setengah mabuk semua praktek kekerasan dilakukan Burik kepada siapa saja yang mendekat.

Codot melihat sisa cairan di botol masih cukup banyak. Dengan tergesa ditenggaknya langsung dari botol. Panas sekeliling rongga mulutnya, lalu menjalar ke enggorokan, dan langusn ke lambung. Dan bersamaan dengan pengaruhnya menjalar ke kepala. “Mampus aku. . . .!” pekik Codot ketika tiba-tiba pandangannya gelap, kepala berat, dan keseimbangan tubuh terganggu.

Codot mengikuti jejak Burik. Jatuh tersungkur dengan wajah nyungsep ke lantai teras rumah bambu di sudut jauh perkebunan teh itu.  Sorot matahari rebah ke barat, dan angin pengunungan berkesiur kencang. Kabut dan mendung mulai berkumpul, dan petang hari biasanya turun hujan. Bos yang ditunggu belum juga datang.

***

Lelaki yang teronggok di sudut ruang tengah itu tak lain adalah Arjo Kemplu. Kesadarannya sedikit demi sedikit pulih. Yang dirasakan perih dan ngilu sekujur tubuh.  menjerit dan berteriak kencang namun mulutnya tersumbat. Pandangannya pun gelap. Dari pagi ia terperangkap di mobil minibus berkaca gelap itu semuanya menjadi serba kacau. Terlebih saat mata dan kemudian mulutnya di tutup lakban. Tidak ada kompromi dan negosiasi.

“Di mana aku sekarang, kenapa aku haus bernasib seburuk ini? Ini sebenarnya untuk urusan apa? Kalau ada urusan yang masih dapat diselesaikan dengan cara baik-baik kenapa harus dengan kekerasa begini?” ucap Arjo dalam hati.

Tiba-tiba kini ia sudah berada di tempat asing. Lantai keramik terasa sangat dingin menusuk tulang, yang membuat tubuhnya mati rasa. Kepala pusing, dan tubuh lemas. Beberapa saat ditunggunya untuk mendengarkan kalau-kalau ada yang ngobrol. Namun sepi sekali. Ia yakin tidak ada seorang pun di ruangan itu. Maka dengan beringsut-ingsut ia mengerakkan tangan dan kaki. Bersamaan dengan itu coba melepaskan ikatan tali rafia yang membelenggu tangan dan kakinya.

Sempat terbetik di benak Arjo bahwa pelaku tindak kekerasan ini tak lain adalah Haji Lolong, atau bapak Wasi. Mungkin gara-gara kecelakaan kemarin. “Dalam peristiwa itu sendiri tidak tahu siapa yang bersalah. Kanapa aku yang harus jadi korban?”

Setelah bergeser cukup jauh Arjo mendapati kusen pintu. Ia menggunakan sisi tajam kayu kusen untuk memutus tali rafia yang mengikat kuat kedua lengannya.  Tidak mudah menempatkan tubuh dalam posisi yang dikehendakinya. Ia mengangkat tubuh sedikit demi sedikit hingga dapat beersandar. Lalu dengan hati-hati ia geser-geserkan tali rafia di tangan dengan harapan tali keparat itu putus.

“Ini jelas perkara kriminal. Siapapun pelakunya harus dihukum agar dapat dipenjarakan. Semua penderitaan ini harus ditanggung pula oleh Haji Lolong. . . . . .!” gumam Arjo dalam hati. Kesumatnya muncul hingg ke ubun-ubun, dan bersamaan dengan itu terputus seutas tali rafia di pergelangan tangan Arjo.

Tiba-tiba Arjo ingat betapa pukulan demi pukulan mendera tubuhnya dalam perjalanan dari pengkalan ojek ke arah mana entah. Dari sejak naik mobil dengan mata dan mulut dibebat lakban.

Kepedihan itu ditahannya dengan sesekali melafalkan doa apa saja yang diingatnya. Dalam keadaan sehat soal itu kadang tidak dihiraukan. Namun dalam kondisi sakit dan kesakitan rasanya tidak ada orang yang dengan sukarela dipercepat kematiannya. Arjo mendapatkan kearifan itu karena keterjepitan yang dialaminya..

“Dasar bangsat! Jangan sekali-kali berurusan apapun dengan Bos kalau tidak mau mampus dengan kondisi menyedihkan. Kamu tidak tahu, atau sudah tahu tapi nekat? Mau sok jadi pahlawan ya. . . . .?” suara seorang lelaki dengan aksen orang Jawa sambil menenggak minuman keras. Bersamaan dengan hardikan sebuah bogem mentah menghajar ujuhatinya. Arjo berteriak keras, namun suara lengkingannya tertahan lakban. Ia meringkuk di jok tengah. Di tengah gempuran itu ia bertahan untuk tidak menyerah.

“Kamu bakal membunuhnya kalau terus memukul. . . . !” ucap orang lain di depan. Arjo menduka orang itu si sopir.

Namun ia justru mendapatkan pukulan pula. Suara pukulan terdengar keras diserai makian kasar. “Jangan ikut campur urusanku.. . . .!” jawab orang pertama dengan menggeram. Bau alkohol  menyesak di dalam mobil. Laju mobil sempat agak oleng ketika pukulan terjadi. Mungkin si sopir tidak sempat menangkis karena mendapatkan pukulan dari belakang.

Arjo hanya bisa mengira-ira apa yang terjadi sambil menahan rasa sakit di tubuh, juga rasa sakit hati. Ia sudah membayangkan pembalasan apa yang akan dilakukan bila ada kesempatan entah kapan nanti. Jika masih hidup tentu saja.

Ia khawatir akan dibawa ke luar kota lalu dilempar dari atas tebing. Dibayangkan tubuhnya melayang beberapa saat lalu ada benturan,  Tubuh itu pasti remuk setelah mendarat keras di atas batu-batu besar dasar sungai tak berair. Kalau kebetulan air sungai sedang meluap maka tubuhnya bakal terbawa arus sampai ke pintu air, dan ditemukan orang di sana dalam keadaan hancur dan tak bernyata. . . .

Ingatan itu menjadikannya sangat bersemangat mengesek tali dengan pinggiran kusen pintu. Maka dengan cepat Arjo dapat melepaskan tangan dari jeratan tali. Hatinya bersorak gembira. Semangat hidup yang tadi pagi sempat padam kini menyala kembali. Lalu tali kaki dilepas, dan kemudian dengan hati-hati dilepaskannya lakban yang menyekap mulut.

“Alhamdulillah ya Gusti. . . . .!” teriak Arjo dengan setengah melengking.

Lalu dengan perlahan-lahan dikupasnya pula lakban yang tertempel menutupi kelopak mata. Sangat hati-hati, dan akhirnya aterkelupas juga. Beberepa helai rambut alis dan bulu mata ikut tercabut. Dengan mengejap-ngejapkan kelopak mata  Arjo tidak dapat menahan diri untuk tidak menangis. . . . .

(bersambung)

Bandung, 18 April 2016

Sumber gambar : alcohol-image

Cerita sebelumnya : bab-iii-empat

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun