Mohon tunggu...
Sugiyanto Hadi Prayitno
Sugiyanto Hadi Prayitno Mohon Tunggu... Penulis - Lahir di Ampel, Boyolali, Jateng. Sarjana Publisistik UGM, lulus 1982. Pensiunan Pegawai TVRi tahun 2013.

Pensiunan PNS, penulis fiksi. Menulis untuk merawat ingatan.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Cinta yang Menua # Bab IV – Satu (Tantangan 100 Hari Menulis Novel)

18 April 2016   17:11 Diperbarui: 18 April 2016   17:19 90
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tiba-tiba Arjo ingat betapa pukulan demi pukulan mendera tubuhnya dalam perjalanan dari pengkalan ojek ke arah mana entah. Dari sejak naik mobil dengan mata dan mulut dibebat lakban.

Kepedihan itu ditahannya dengan sesekali melafalkan doa apa saja yang diingatnya. Dalam keadaan sehat soal itu kadang tidak dihiraukan. Namun dalam kondisi sakit dan kesakitan rasanya tidak ada orang yang dengan sukarela dipercepat kematiannya. Arjo mendapatkan kearifan itu karena keterjepitan yang dialaminya..

“Dasar bangsat! Jangan sekali-kali berurusan apapun dengan Bos kalau tidak mau mampus dengan kondisi menyedihkan. Kamu tidak tahu, atau sudah tahu tapi nekat? Mau sok jadi pahlawan ya. . . . .?” suara seorang lelaki dengan aksen orang Jawa sambil menenggak minuman keras. Bersamaan dengan hardikan sebuah bogem mentah menghajar ujuhatinya. Arjo berteriak keras, namun suara lengkingannya tertahan lakban. Ia meringkuk di jok tengah. Di tengah gempuran itu ia bertahan untuk tidak menyerah.

“Kamu bakal membunuhnya kalau terus memukul. . . . !” ucap orang lain di depan. Arjo menduka orang itu si sopir.

Namun ia justru mendapatkan pukulan pula. Suara pukulan terdengar keras diserai makian kasar. “Jangan ikut campur urusanku.. . . .!” jawab orang pertama dengan menggeram. Bau alkohol  menyesak di dalam mobil. Laju mobil sempat agak oleng ketika pukulan terjadi. Mungkin si sopir tidak sempat menangkis karena mendapatkan pukulan dari belakang.

Arjo hanya bisa mengira-ira apa yang terjadi sambil menahan rasa sakit di tubuh, juga rasa sakit hati. Ia sudah membayangkan pembalasan apa yang akan dilakukan bila ada kesempatan entah kapan nanti. Jika masih hidup tentu saja.

Ia khawatir akan dibawa ke luar kota lalu dilempar dari atas tebing. Dibayangkan tubuhnya melayang beberapa saat lalu ada benturan,  Tubuh itu pasti remuk setelah mendarat keras di atas batu-batu besar dasar sungai tak berair. Kalau kebetulan air sungai sedang meluap maka tubuhnya bakal terbawa arus sampai ke pintu air, dan ditemukan orang di sana dalam keadaan hancur dan tak bernyata. . . .

Ingatan itu menjadikannya sangat bersemangat mengesek tali dengan pinggiran kusen pintu. Maka dengan cepat Arjo dapat melepaskan tangan dari jeratan tali. Hatinya bersorak gembira. Semangat hidup yang tadi pagi sempat padam kini menyala kembali. Lalu tali kaki dilepas, dan kemudian dengan hati-hati dilepaskannya lakban yang menyekap mulut.

“Alhamdulillah ya Gusti. . . . .!” teriak Arjo dengan setengah melengking.

Lalu dengan perlahan-lahan dikupasnya pula lakban yang tertempel menutupi kelopak mata. Sangat hati-hati, dan akhirnya aterkelupas juga. Beberepa helai rambut alis dan bulu mata ikut tercabut. Dengan mengejap-ngejapkan kelopak mata  Arjo tidak dapat menahan diri untuk tidak menangis. . . . .

(bersambung)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun