Kapan lagi melakukan pembalasan kalau bukan saat lawan mabuk, pikir Codot. Itu saat yang sangat ditunggu-tunggu memang. Sebagai sopir ia tahu betul di mana batas boleh menenggak minuman beralkohol. Tanpa perhitungan maka perjalanan bukan sampai ke tujuan tapi justru ke rumah sakit, atau bahkan langsung ke kuburan.
Kemarahan Codot dipicu oleh sikap Burik yang keterlaluan. Di depan bos semua kesalahan sekecil apapun ditimpakan kepada sopir. Bahkan sepanjang jalan dalam upaya menghilangkan jejak dari lokasi awal penculikan mulut dan tangannay erus menghajar korban. Anehnya sesekali tangan lelaki setengah budeg itu juga menghajar wajah dan tengkuk Codot. Kurangajar memang. Kalau sudah setengah mabuk semua praktek kekerasan dilakukan Burik kepada siapa saja yang mendekat.
Codot melihat sisa cairan di botol masih cukup banyak. Dengan tergesa ditenggaknya langsung dari botol. Panas sekeliling rongga mulutnya, lalu menjalar ke enggorokan, dan langusn ke lambung. Dan bersamaan dengan pengaruhnya menjalar ke kepala. “Mampus aku. . . .!” pekik Codot ketika tiba-tiba pandangannya gelap, kepala berat, dan keseimbangan tubuh terganggu.
Codot mengikuti jejak Burik. Jatuh tersungkur dengan wajah nyungsep ke lantai teras rumah bambu di sudut jauh perkebunan teh itu. Sorot matahari rebah ke barat, dan angin pengunungan berkesiur kencang. Kabut dan mendung mulai berkumpul, dan petang hari biasanya turun hujan. Bos yang ditunggu belum juga datang.
***
Lelaki yang teronggok di sudut ruang tengah itu tak lain adalah Arjo Kemplu. Kesadarannya sedikit demi sedikit pulih. Yang dirasakan perih dan ngilu sekujur tubuh. menjerit dan berteriak kencang namun mulutnya tersumbat. Pandangannya pun gelap. Dari pagi ia terperangkap di mobil minibus berkaca gelap itu semuanya menjadi serba kacau. Terlebih saat mata dan kemudian mulutnya di tutup lakban. Tidak ada kompromi dan negosiasi.
“Di mana aku sekarang, kenapa aku haus bernasib seburuk ini? Ini sebenarnya untuk urusan apa? Kalau ada urusan yang masih dapat diselesaikan dengan cara baik-baik kenapa harus dengan kekerasa begini?” ucap Arjo dalam hati.
Tiba-tiba kini ia sudah berada di tempat asing. Lantai keramik terasa sangat dingin menusuk tulang, yang membuat tubuhnya mati rasa. Kepala pusing, dan tubuh lemas. Beberapa saat ditunggunya untuk mendengarkan kalau-kalau ada yang ngobrol. Namun sepi sekali. Ia yakin tidak ada seorang pun di ruangan itu. Maka dengan beringsut-ingsut ia mengerakkan tangan dan kaki. Bersamaan dengan itu coba melepaskan ikatan tali rafia yang membelenggu tangan dan kakinya.
Sempat terbetik di benak Arjo bahwa pelaku tindak kekerasan ini tak lain adalah Haji Lolong, atau bapak Wasi. Mungkin gara-gara kecelakaan kemarin. “Dalam peristiwa itu sendiri tidak tahu siapa yang bersalah. Kanapa aku yang harus jadi korban?”
Setelah bergeser cukup jauh Arjo mendapati kusen pintu. Ia menggunakan sisi tajam kayu kusen untuk memutus tali rafia yang mengikat kuat kedua lengannya. Tidak mudah menempatkan tubuh dalam posisi yang dikehendakinya. Ia mengangkat tubuh sedikit demi sedikit hingga dapat beersandar. Lalu dengan hati-hati ia geser-geserkan tali rafia di tangan dengan harapan tali keparat itu putus.
“Ini jelas perkara kriminal. Siapapun pelakunya harus dihukum agar dapat dipenjarakan. Semua penderitaan ini harus ditanggung pula oleh Haji Lolong. . . . . .!” gumam Arjo dalam hati. Kesumatnya muncul hingg ke ubun-ubun, dan bersamaan dengan itu terputus seutas tali rafia di pergelangan tangan Arjo.