Mohon tunggu...
Sugiyanto Hadi Prayitno
Sugiyanto Hadi Prayitno Mohon Tunggu... Penulis - Lahir di Ampel, Boyolali, Jateng. Sarjana Publisistik UGM, lulus 1982. Pensiunan Pegawai TVRi tahun 2013.

Pensiunan PNS, penulis fiksi. Menulis untuk merawat ingatan.

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Cinta yang Menua # Bab III – Empat (Tantangan 100 Hari Menulis Novel)

16 April 2016   09:48 Diperbarui: 16 April 2016   17:06 233
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Set design tv talk show - vistasystems.net"][/caption]Mas Dayu tersenyum kembali, sangat lebar. Wasi balas tersenyum sambil mengusap air mata. Beberapa orang yang masuk-keluar ruangan Mas Dayu untuk beberapa urusan administrasi maupun produksi menyaksikan adegan itu.

“Peristiwa kemarin mudah-mudahan menjadi pengalaman berharga untuk perjalanan karier kita dibidang broadcasting ini. Kamu sebagai pembawa acara atau host, dan saya sebagai produser. . . . . . .1” ujar Mas Dayu sambil memperhatikan jarum jam di tangan kirinya.

“Pasti, Mas. Ini sebuah pelajaran teramat berharga!” sambung Wasi.

“Oke, tinggal satu jam lagi untuk siaran live. Silahkan melakukan persiapan!” tambah Mas Dayu. “Oya, satu hal lagi persyaratan perusahaan yang selama ini kamu tolak, yaitu soal jemputan. Kali ini harus kamu menerimanya. Memperhatikn kondisi lalu-lintas yang makin parah, serta jarak rumahmunke studio, maka jemputan dilakukkkan tiga jam sebelum on air. . . . . .”

”Oke, Mas, tiak ada masalah!” Sekali lagi Wasi menjabat tangan Mas Dayu. Mengambil tas kerjanya dan menanklongkan talinya di pundak. Tiba-tiba ia merasakan kembali betapa dingin ruangan itu. Mungkin delapan belas derajat celsius suhu AC di situ. Ketika Wasi hendak berbalik ke luar ruangan, di depan pintu sudah menunggu Madewi dan Teh Nuning.

“Alhamdulillah, mbak Wasi sudah muncul. Dikirain berhalangan lagi. Biasanya sudah ribet di ruang make up. Kami mencari-cari dan coba menghubungi, rupanya di sini. .. .. . . . .!” ucap Madewi yang tugasnya sebagai co host mendahului.

“Sudah dihubungi ke semu salauran juga tiak ada balasan. .. . . . .!” tambah Teh Nuning yng tugasnya sebagai anggota tim kreatif

Alhamdulillah. . . . . .!” ucap Wasi sambil memeluk satu persatu dua orang kru acara Bincang Jelata itu.

Ketiganya berjalan cepat ke arah ruang make up. Tempatnya di belakang studio empat, di lantai enam. Mereka menuju lift. Beberapa karyawati dan kru produksi menyalami Wasi, bertanya satu-dua pertanyaan, dan dijawab Wasi dengan kalimat pendek-pendek.

“Maaf, ini buru-buru. Waktu yang pendek harus digunakan untuk beberapa persiapn sekaligus. Besok atau lusa pada jam istirahat kita bisa ngobrol panjang di kantin. Maaf ya. . . . . .!” ucap Wasi ketika para karyawati itu menempuh arah yang berbeda.

Di dalam lift Madewi dan Teh Nuning bersahutan memberi informasi mengenai materi live Bindang Jelata siang ini.

“Narasumber kali ini dua orang TKI di Hongkong dan Taiwan yang terhindar dari jerat bandar narkoba untuk menjadi kurir. Lima orang teman mereka menggantikan, dan tiga diantaranya terangkap dengan ancaman hukuman maksimal hukuman mati. . . . . .!” ujar Madewi memberi gambaran umum maeri perbincangan kali ini.

“Mereka khusus kembali ke tanah air karena acara kita. Sindikat narkoba di kedua negara dimana mereka bekerja hampir tiga tahun sangat kuat. Untuk menjadi narasumber ini pun mereka mempertaruhkan nyawa. . . . .!” tambah Teh Nuning kemudian.

“Jangan-jangan keduanya anggota jaringan  pula. Mereka ingin membersihkan nama agar dosa masa lalunya terhapus?” tanya Wasi dengan antusias. Salah sau kesenangannya menjadi host acara Bincang Jelata adalah kemampuan tim kreatif menghadirkan orang-orang yang tak disangka-sangka mau dan mampu hadir meski dengan ancaman apapun.

“Itu dapat dikembangkan dalam dialog. Namun rasanya tidak boleh dengan pertanyaan terlalu terbuka, karena sekali lagi nyawa mereka taruhannya. Ancaman daang dari sindikat maupun dari hukum. . . . . .!” ucap Madewi.

Wasi berpikir keras untuk menelusuri sisi heboh dari acara itu. “Lalu dimana menariknya sarasumber kita kali ini?”

“Kita punya gambar-gambar kondisi memprihatinkan para pecandu dn korban narkoba. Pancing komentar mereka seputar apa yang bisa kita lakukan agar setidaknya jumlah korban penyalahgunaan narkoba di tanah air terus berkurang dari tahun ke tahun. . . . . .!” jawab Madewi.

“Oya, ada sedikit ketegngan yang terjadi pada akhir acara. Dua orang polisi berpakain preman masuk  an ikut on air untuk menangkap kedua narasumber. Dan itu tugasmu untuk menolak khadiran mereka. . . . . .!” tambah Teh Nuning setengah berbisik.

Seorang lelaki masuk ke lift. Dan bersamaan dengan itu Wasi, Madewi, dan Teh Nuning segera keluar lift di lantai empat gedung stasiun tv Nayaka itu. Teh Nuning menyerahkan naskah desain produksi dan profil narasumber kepada Wasi untuk dijadikan patokan. Sementara Madewi sudah lebih dahulu menguasai materi dan berbagai permasalahannya untuk membantu menghidupkan acara.

Wasi bergegas  menuju ruang make up. Tidak terlalu banyak yang dibenahi dari wajah dan penampilan perempuan itu. Kecantikan dan kebiasaannya tampil penuh pesona sangat membantu kerja petugas make up.

“Selamat siang, teman-teman. . . .  Terimakasih sudah setia menunggu. Seperti biasa, tinggal perbaikan kecil. Tolong segera persiapankan busana dengan segenap asesorisnya yang harus melekat di tubuh ini. . . . . .!”

“Selamat siang, mbak. . . .!” sambut seorang karyawati di situ. “Sehatkah hari ini? Ada berita buruk soal tidak datang kemarin ya? Syukurlah hari ini semuanya baik-baik saja. . . . .!”

‘Musibah selalu datang tak terduga. Namun dengan selalu ikhlas dan pasrah pada Ilahi insya Allah kita menemukanjaln terbaik. . . . . .!” ucap Wasi ketida duduk di depan meja yang berseberangan dengan benangan cermin besar untuk banyak orang sekaligus di tempat itu.

Sementara itu Madewi dan Teh Nuning mendahului masuk ke studio empat. Di sana bertemu dengan Pak Harmin yang terlihat sibuk dengan urusan set dekorasi untuk disinkronkan dengan kepentingan lighting, penempatan peralatan audi-video, serta set dekorasi. Tinggal membenahi posisi pemain band serta belasan orang penonton yang berada di seputar panggung.

***

Studio empat, satu dari enam studio yng ada, merupakan studio khusus acara talk show. Ukuran studio dan set panggung –dengan tata lampu maupun tata suara- bahkan tempat duduk penonton -dengan kapasitas sampai dua ratus orang- sudah dibuat permanen untuk acara khusus talk show.

Di awali dengan tepuk tangan penonton dan iringan lagu pembuka acara live talk show Bincang Jelata, host Wasistra Anggraini dan co-host Madewi Sekartaji masuk ke tengah set dekorasi. Petugas floor director yang berdiri di belakang kamerawan pada kamera tiga, memberi aba-aba agar penonton memperpanjang gerakan tepuk  tangan.

“Apa khabar, Pemirsa?! Lewat siang ketika perut kenyang pasti tak sayang untuk ikut larut dalam sajian jelata berbincang. Inilah acara saya dan Anda, acara kita bersama,untuk membangkitkan semangat mandiri anak negeri. . . . . .  Terimalah salam selamat-sejahtera kami dari Stasiun Televisi Nayaka dalam acara Bincang Jelata. . . . . .!” ucap Wasi penuh semangat, tegas sekaligus menebar pesona.

Ruang studio kembali bergemuruh. Beberapa orang petugas lapangan kembali memberi aba-aba kepada semua penonton untuk bertepuk tangan seramai mungkin.  Satu kamera sengaja diarahkan lensanya ke arah penonton. Suara musik beberapa saat meninggi, sebelum kemudian kembali pelan untuk memberi ruang bagi co-host untuk menyambung pembukaan host.

“Kali ini dua orang narsasumber yang datang dari jauh khusus untuk acara ini. Keduanya meski dengan taruhan keselamatan diri bersedia  hadir di sini. Obsesinya untuk mengingatkan siapapun tentang kejahatan para pengedar narkotika, termasuk jaringannya.. . . . . . . .!”

“Bersama saya Wasistra Anggraini. . . . .”

“Dan saya, Madewi Sekartaji.... Mari berbincang riang dengan para jelata. . . . . Sambutlah dua narasumber kita hari ini. . . . . “

Dari balik panggung muncul dua orang perempuan. Wasi dan Madewi menyambut uluran tangan mereka, dilanjutkan dengan saling peluk dan cium pipi begitu hangat.

Perbincangan dimulai dengan memperkenalkan dua orang tamu sebagai narasumber. Setelah beberapa pertanyaan pembuka yang sangat tajam, acara dilanjutkan dengan penayangan video kehidupan kedua tamu. Masing-masing sekitar tiga menit. Ini penting untuk memberi gambaran sekilas latar belakang maupun keseharian mereka sehingga dinilai cukup kredibel untuk menjadi narasumber. . . . . Lalu break untuk penayangan iklan. . . . .

(Bersambung)

Bandung, 16 April 2016

Cerita sebelumnya : bab-iii-tiga

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun