Mohon tunggu...
Sugiyanto Hadi Prayitno
Sugiyanto Hadi Prayitno Mohon Tunggu... Penulis - Lahir di Ampel, Boyolali, Jateng. Sarjana Publisistik UGM, lulus 1982. Pensiunan Pegawai TVRi tahun 2013.

Pensiunan PNS, penulis fiksi. Menulis untuk merawat ingatan.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Cinta yang Menua # Bab III – Tiga (Tantangan 100 Hari Menulis Novel)

14 April 2016   21:49 Diperbarui: 14 April 2016   21:56 71
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="cup of caffee - www.artnewsblog.com/cup-of-coffee/"][/caption]Wasistra Anggraini melihat sekeliling, menata hati, dan mengambil nafas panjang sebelum berkisah. Sejenak wajahnya menegang, dan dengan cepat perasaan cemasnya dapat dikuasai.

“Sebuah cerita yang memalukan sebenarnya. Namun akibatnya memang sangat tidak mengenakkan.. . . . .!” Wasi memandang ke arah Mas Dayu untuk mencari reaksi apa yang mungkin timbul. Namun wajah lelaki di depannya datar, dan menunggu.  “Aku berangkat dari rumah dua setengah jam sebelum acaraku on air. Itu sudah kuperhitungan cermat, dengan selang waktu yang kukira lebih dari cukup.”

Mas Dayu tidak bereaksi. Wasi melanjutkan. “Namun hari itu agaknya bukan hari seperti biasanya. Bus kota yang kutumpangi terlampau lambat bergerak. Entah ada unjuk rasa  apa di jalan. Aku ganti naik taksi. Hingga di ujung jalan Kelabang Hitam, sekitar dua kilo dari sini.  Karena macet luar biasa, aku naik ojek sepeda onthel. . . . . Sebuah ide yang datang sangat mendadak sebetulnya. Tapi rasanya itulah pilihan terbaik. Ojek sepeda onthel bebas mau menggunakan jalan siapa dan apa saja. Tidak ada orang yang melarang-larang!”

“Oh, begitu ya? Terus?” Mas Dayu mengambil berkas di samping kanan meja, dan mulai membuka-buka. “Ehh, maaf sebentar, ada yang terlupa! Ada yang perlu ditandatangani segera.” Lalu ia melambai pada seorang sekretaris di balik kaca ruangan sebelah. Gadis kehitaman semampai itu mengambil selembar kertas yang disodorkan Mas Dayu.

“Maaf! Silahkan teruskan.” ucap Mas Dayu kemudian.

“Seorang Bapak tua yang jangkung dan tampak berwibawa dibandingkan penampilan fisiknya menyorongkan boncengan sepedanya padaku. Tanpa berpikir panjang aku melompat, dan menempatkan pantat di boncengan sepeda itu. Waktu masih cukup banyak dalam perkiraanku. Aku menikmati sensasi meliuk-liuk di atas sepeda onthel diantara orang-orang yang berjalan kaki di trotoar, naik turun trotoar ke aspal. Namun sebuah peristiwa tak terduga tiba-tiba terjadi begitu saja.. . . .”

“Ada lubang besar yang tertutup dari pandangan?” Mas Dayu mendahului, ikut menduga-duga apa yang terjadi.

Wasi tertawa sambil menggeleng. “Sebuah sedan mewah nyelonong tak terkendali, dan menghantam sepeda yang  kami tumpangi. Sial sekali memang. Aku dan Pak Tua tukang Ojek terpental jatuh.. . . . .” Wasi berhenti bicara sambil menahan tertawa. “Aku sempat dibawa ke rumah sakit entah oleh siapa. Begitu banyak orang hendak membantu. Hanya lecet-lecet dan sedikit pusing karena benturan. Tapi malunya itu. . . . . .!”

“Hati-hati lho, jangan-jangan dompet atau tesmu hilang. Dalam peristiwa kecelakaan, diantara orang-orang yang memberi pertolongan ada yang hanya mencari kesempatan untuk mencopet. . . . .!”

“Alhamdulillah tidak ada yang hilang, semuanya utuh. Kecuali mungkin muka. . . . ya, aku kehilangan muka karena terjatuh saat naik ojek sepeda onthel gara-gara diseruduk mobil ugal-ugalan!”

Seorang karyawan rumah tangga membawa baki dengan cangkir kopi hitam panas dan beberapa potong kue basah di atasnya. Wangi bau kopi menyengat di ruangan berpendingin itu. Seketika Wasi tersenyum. Ditungguinya karyawan itu meletakkan baki sangathati-hati di sisi meja, dan dengan isyarat tangan mempersilahkan tamu untuk meminumnya.

“Terimakasih. Pasti kopi hitam kapal hantu yang paling kusukai. Baunya sudah sangat kukenal. Maaf Mas Dayu, boleh aku. . . . . .!” Wasi sudah mengulurkan tangan untuk mengambil cangkir kopi.

“Ohh, silahkan diminum dulu sebelum lanjut. Kuenya juga enak lho. Kue tradisional dari toko langanan kami. Pasti ketagihan deh. . . . .!”

Wasi cepat menyeruput kopi hitamnya dengan hati-hati. Ia takut lipstiknya tertempel kopi. Masih sangat panas, namun justru di sana salah satu kenikmatan minum kopi. Kombinasi antara rasa kopi asli, aroma menusuk, dan panas yang menyengat. Seketika Wasi merasa semangat hidupnya terbangun. Sebuah sensasi kopi yang selalu dirindukannya lebih dari minuman apapun yang pernah sesesapnya.

Sepotong kue dari bahan beras dioven dengan warna-warni coklat digigitnya sedikit demi sedikit. Dirasainya dengan ujung lidah. “Enak sekali. Terima kasih atas suguhannya!”

“Asal nggak sering-sering saja. . . . hehe!”

“Oke, lanjut ya. . . . .!” ucap Wasi kemudian. “Terlalu panjang kalau mau diurutin. Tapi intinya begini, aku tidak bisa memenuhi kewajiban untuk menjadi host kemarin. Pengobatan di rumah sakit itu yang menjadikanku tidak dapat kembali ke studio. Waktu sudah mepet ketika kecelakaan terjadi. Karenanya tidak ada kata lain kecuali permohonan maaf, kepada Mas Dayu, terlebih juga kepada perusahaan. Aku siap apapun hukuman yang harus  kuterima. . . . .!” 

Mas Dayu tidak segera berkata sesuatu. Ia seperti sedang menimbang-nimbang sesuatu. Agak berat untuk diungkapkan mungkin. “Oke, terimakasih, Wasi ya. Sudah cukup jelas cerita kejadian kemarin. Nah, sekarang giliran saya bercerita. . . . .!”

Wasi terenyum, dan kembali meraih cangkir kopi untuk meminumnya hingga tandas, tinggal ampas. Ia menyiapkan hati untuk menerima apapun balasan atas ketidakhadirannya kemarin.

Pesawat telepon lokal berdering. Mas Dayu mengangkat gagang telepon. “Selamat pagi, Bos. Maaf saya terlambat ikut rapat. Ini sedang menerima kedatangan Wasi, membahas soal kemarin. . . . . !”

Terdengar suara tidak jelas dari ujung sana. Wasi mendengar lamat-lamat. Mas Dayu berdiri untuk menemui Bos. Ia minta izin pada Wasi untuk meninggalkan ruangan sebentar.

Hanya beberapa menit Mas Dayu sudah kembali. Wajahnya tampak diliputi senyuman entah mengapa. Wasi hanya menduga-duga ada kabar baik sehingga ia tidak mampu menyembunyikan perasaannya itu. Lelaki itu kembali duduk di kursinya dengan sekali gerak.

“Saya harus ikut rapat. Jadi maaf sekali tidak bisa lebih lama lagi menemuimu. Namun secara ringkas menegenai masalahmu dapat saya katakan begini: ketidakhadiranmu sangat-sangat disesalkan. Apapun alasannya, seorang host tetap pada sebuah acara tidak tergantikan. Lebih baik acara batal daripada menjadi rusak karena digantikan orang lain.. . . . .” ujar Mas Dayu kemudian menarik nafas panjang. “Keputusan saya mencari penggantimu kemarin oleh pimpinan dinilai salah. Itu kenapa saya kena semprot parah. Kedudukan saya terancam. . . . .”

“Aduh, begitu besar kesalahan saya ya, Mas. . . . .!” komentar Wasi coba ikut bersimpati pada posisi Mas Dayu.

“Lebih dari itu tidak pilihan bagi host yang mangkir, meski hanya sekali, untuk menerima akibat terburuk yaitu diminta mengundurkan diri. Itu keputusan dalam rapat kemarin. . . . . .”

Wasi sudah dapat menduga resiko itu yang harus diambil. Dan sekarang kekhawatirannya menjadi kenyataan. Perempuan itu hanya bisa menunduk, tanpa reaksi apapun. Menyesali jelas tidak perlu, yang ada harus menerima dengan keikhlasan. 

“Terimakasih kalau itu keputusan yang sudah diambil. Aku belajar lama untuk menjadi orang yang tidak mudah menyalahkan diri sendiri. Dan  bersamaman dengan itu tidak suka membela diri atas nasib apapun yang orang timpakan. Saya terima. . . . . . .”, ujar Wasi tanpa ekspresi. Sekejap tadi ia telah salah duga terhadap ekspresi wajah Mas Dayu. Dikiranya ada kabar gembira untuknya.

“Sebentar, saya belum selesai. Duduklah dulu di kursimu dengan nyaman.   Keputusan kemarin itu dianulir sendiri oleh Bos beberapa menit lalu. Banyak alasan dikemukakan, namun itu hanya untuk intern kami. Kamu selamat, dan begitu pua saya. Kamu masih dapat terus memandu acara Bincang Jelata itu hari ini mudah-mudahan pepristiwa ini menjadi pembelajaran  yang baik. . . .. .!” ucap Mas Dayu sambil berdiri hendak menjabat tangan Wasi.

Giliran Wasi yang menggigil mendapati perubahan keputusan yang begitu mendadak. Perasaannya seperti tersentak tiba-tiba. Ia sudah siap untuk keputusan terburuk. Namun ternyata kenyataan berkata lain. Masih ada nasib baik yang berpihak padanya hari ini. Spontan Wasi berdiri, berjalan beberapa langkah ke arah Mas Dayu, dan memeluk lelaki itu dengan begitu erat. Matanya mendadak berkaca-kaca. “Terima kasih masih mempercayai saya. . . . . .”

(Bersambung)

Bandung, 14 April 2016

Sumber gambar : cup-of-coffee/

Cerita sebelumnya :

bab-iii-dua, bab-iii-satu, bab-ii - empat, bab-ii - tiga

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun