“Itu masa lalu.. . . .hehe. Tapi kalau memang ada cewek yang matik produksi terbaru bolehlah. Lumayan mengendarainya, tidak perlu capek-capek pindah gigi bisa ngebut, meski bahan bakarnya agar boros!” ujar Arjo kembali bercanda.
“Hahaha. . . .Abang bisa aja. Dasar pemain drama. Masak sih cewek disamain dengan kendaraan. Memang apa bedanya yang bergigi dengan yang matik, Bang?” tanya Tatang memancing, pingin tahu juga.
“Kan tadi udah dijelasin. Matik berarti mudah, tidak capek, tapi boros. Sudah ah, Abang mau jalan dulu, ada perlu, lain kali ngobrol lagi. . . . .!” Arjo mengangkat kaki dan ngeloyor pergi.
Dari jauh berlari-lari seorang nenek mendatangi Arjo. “Utangmu kapan dibayar, Bang. Dulu bilang seminggu, sekarang sudah lebih sepuluh hari. . . .” seru Mak Darting dengan nada tinggi.
Kalau dengan orang lain sudah dilahapnya orang itu dengan kemarahan, namun untuk Arjo ia canggung. Arjo sering memberinya piranti make-up sisa dari bagian tata-rias. Meski tua Mak Darting memang dikenal suka bersolek. Janda dengan lima cucu dan satu buyut itu masih mencolok jika adu soal kecantikan. Kebetulan kulitnya masih kencang, rambut mulai jarang namun belum beruban, dan senyumnya masih menyisakan pesona. Setidaknya itu di mata Arjo yang tidak terlalu awas lagi.
“Utang apaan? Perasaan aku nggak punya utang sama Mak Darting!” Arjo menghentikan langkah sambil berpikir. “Ah ya, aku lupa. Nasi dua bungkus, satu air botol kemasan, rokok tiga batang. . . .!” ucap Arjo sambil mencopot jam tangan warna hitam merek Gangsir. Lalu menyerahkan kepada Mak Darting begitu saja. “Seminggu lagi kutebus. Jangan dijual. Itu jam antik. Jarum jamnya agak lambat namun penampilannya masih gagah, seperti jam para selebritis!”
Mak Darting tidak bercakap lagi. Ia pergi begitu saja dengan wajah datar.
“Benar juga kata Abang tadi. Semua cewek mencintai Abang. Tapi hanya orang mabuk dan tidak waras yang..... Ngomong-ngomong kenapa mata Abang jadi ijo begitu. . . . .?” tanya Kodirun.
“Mataku biru, keturunan bintang film India. Sudah. . . .! Ada saja kalian bahas untuk memancing reaksiku. Sudah, aku pergi. . . . .!” Arjo bergegas setelah melempar senyum tengik. Senyuman yang mengkombinasikan antara masam, marah, dan mangkel jadi satu. Tengik.
“Soal sepeda Abang yang ditabrak mobil pribadi kemarin, ramai di media online lho. Tapi siapa cewek bernama Wasistra Anggraini itu ya? Masak sih cewek cnatik mau dibonceng sepeda?” tanya Tatang lagi dengan berapi-api. Jangan-jangan sepagi itu ia sudah meminum sesuatu yang memabukkan.
Arjo berjalan menjauh dengan menutup kedua lubang telinganya. Ia sadar, kalau dilayani terus bisa sampai sore ngobrol dengan para pengangguran itu.