Mohon tunggu...
Sugiyanto Hadi Prayitno
Sugiyanto Hadi Prayitno Mohon Tunggu... Penulis - Lahir di Ampel, Boyolali, Jateng. Sarjana Publisistik UGM, lulus 1982. Pensiunan Pegawai TVRi tahun 2013.

Pensiunan PNS, penulis fiksi. Menulis untuk merawat ingatan.

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

(Tantangan 100 Hari Menulis Novel) Cinta yang Menua # Bab II

1 April 2016   17:41 Diperbarui: 1 April 2016   21:33 186
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="langkah kaki - sumber http://www.ayofoto.com"][/caption]

Tiga

Lelaki tua jangkung dengan rambut sebahu dan berjalan agak tertatih-tatih itu coba melangkah tegap ke selatan. Melewati Gang Manggis yang sempit dan padat perumahan, lalu singgah di warung rokok Bang Marsam. Di situ ada beberapa pemuda sedang santai, kongkow,  ngobrolin entah apa saja. Ramai dan penuh gelak tawa.

Arjo mengangsurkan uang lima ribu rupiah. Lalu tiga batang rokok kretek Dji Rho Loe diterima dengan tergesa. Ia ingin cepat-cepat pergi. Namun seorang pemuda bertato di lengan mendahului bertanya.

“Sepeda onthelmu, dimana Bang? Tumben jalan kaki saja!” tanya Tatang spontan. Agaknya mereka sudah mengalihkan arah pembicaraan.

“Hehe. . . .digadai dulu. Aku banyak utang.  Ya maklumlah nasib tukang ojek makin memprihatinkan....!” jawab Arjo sekenanya. Anak-anak itu toh tidak perduli benar bagaimana cerita sebenarnya, apalagi terhadap nasib sepeda itu.

“Tapi urusan cewek masih lancar ‘kan, Bang?” ujar Giyarwo sambil memperlihatkan gigi tonggosnya, dan tertawa. “Kalau sudah kehabisan stok bisa menghubungi kami. . . . .?”

“Masih lancar. Semua cewek mencintai abang. Tentu bukan sebagai kekasih, apalagi suami, ya sekadar sebagai sahabat dekat. . . . .!”  gumam Arjo dengan serius.

“Lancar. . . .!” sahut Kodirun yng dari tadi menyimak sja.

“Terimakasih atas tawaranmu yang simpatik itu. Tapi soal cewek ‘kan berarti pula soal ibu kita, soal adik atau anak perempuan kita, soal sanak-saudara perempuan kita? Mereka semua perlu kita hormati dan tinggikan derajatnya, Hanya orang mabuk dan tidak waras yang memandang cewek semata sebagai obyek pelampiasan. . . . .!”

“Wah, serius amat. . . . . Tapi Abang ‘kan pernah pamer kalau pengagumnya banyak, pacarnya banyak. . . .!” kejar Giyarwo dengan nekat. Beberapa temannya ikut mengangguk-angguk. Ada yang memain-mainkan batang rokok di tangan kiri, yang lain menyeruput kopi panas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun