[caption caption="langkah kaki - sumber http://www.ayofoto.com"][/caption]
Tiga
Lelaki tua jangkung dengan rambut sebahu dan berjalan agak tertatih-tatih itu coba melangkah tegap ke selatan. Melewati Gang Manggis yang sempit dan padat perumahan, lalu singgah di warung rokok Bang Marsam. Di situ ada beberapa pemuda sedang santai, kongkow, ngobrolin entah apa saja. Ramai dan penuh gelak tawa.
Arjo mengangsurkan uang lima ribu rupiah. Lalu tiga batang rokok kretek Dji Rho Loe diterima dengan tergesa. Ia ingin cepat-cepat pergi. Namun seorang pemuda bertato di lengan mendahului bertanya.
“Sepeda onthelmu, dimana Bang? Tumben jalan kaki saja!” tanya Tatang spontan. Agaknya mereka sudah mengalihkan arah pembicaraan.
“Hehe. . . .digadai dulu. Aku banyak utang. Ya maklumlah nasib tukang ojek makin memprihatinkan....!” jawab Arjo sekenanya. Anak-anak itu toh tidak perduli benar bagaimana cerita sebenarnya, apalagi terhadap nasib sepeda itu.
“Tapi urusan cewek masih lancar ‘kan, Bang?” ujar Giyarwo sambil memperlihatkan gigi tonggosnya, dan tertawa. “Kalau sudah kehabisan stok bisa menghubungi kami. . . . .?”
“Masih lancar. Semua cewek mencintai abang. Tentu bukan sebagai kekasih, apalagi suami, ya sekadar sebagai sahabat dekat. . . . .!” gumam Arjo dengan serius.
“Lancar. . . .!” sahut Kodirun yng dari tadi menyimak sja.
“Terimakasih atas tawaranmu yang simpatik itu. Tapi soal cewek ‘kan berarti pula soal ibu kita, soal adik atau anak perempuan kita, soal sanak-saudara perempuan kita? Mereka semua perlu kita hormati dan tinggikan derajatnya, Hanya orang mabuk dan tidak waras yang memandang cewek semata sebagai obyek pelampiasan. . . . .!”
“Wah, serius amat. . . . . Tapi Abang ‘kan pernah pamer kalau pengagumnya banyak, pacarnya banyak. . . .!” kejar Giyarwo dengan nekat. Beberapa temannya ikut mengangguk-angguk. Ada yang memain-mainkan batang rokok di tangan kiri, yang lain menyeruput kopi panas.