***
Gang sempit itu menghubungikan dengan jalan raya di arah barat, dan gang-gang lain yang simpang-siur. Kadang menempit, lalu melebar. Bersilangan, bersisian. Bukan hanya pejalan kaki, sepeda motor, gerobak pedagang keliling, sepeda serta anaka permainan anak tumplek di sana.
Suasana ramai dari pagi hingga lewat maghrib. Arjo Kemplu hafal belaka satu per satu orang. Sepertinya dengan semua orang ia punya urusan, mulai dari soal burung, mancing, rokok, utang, jual-beli perabot rumah, hingga soal mak comblang. Arjo menjadi semacam pengatur lalu-lintas sekaligus penasehat untuk urusan siapa pingin memacari siapa, siapa ingin menikahi siapa, bahkan siapa ngebet berselingkuh dengan siapa.
Agak jauh berjalan Arjo tiba-tiba teringat pada Wasi. Ia tidak tahu persis apakah perempuan itu seorang gadis, atau sudah bersuami. Dari gaya dan penampilannya tak salah kalau masih lajang meski umurnya sudah begitu matang. Wah celaka dua belas kalau ternyata sudah berstatus isteri. Urusan jadi makin gawat. Arjo bergumam sendiri di dalam hati. “Bayangkanlah bagaimana tidak gawat. Seorang lelaki gaek coba-coba mengganggu seorang perempuan bersuami. Ini urusan bisa jadi serius, bahkan bisa ke soal hidup dan mati. . . . . .!”
Arjo mempercepat langkah. Di persimpangan sebuah motor mendadak melintas, pengemudinya agak meleng. beruntung Arjo cepat menghindar ke samping. “Busyet dah. . . .!” teriaknya spontan. Sepeda motor terus meluncur seperti tidak ada sesuatu pun yang terjadi.
(bersambung)
Bandung, 1 April 2016
Sumber gambar : langkah kaki
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H