Mohon tunggu...
Sugiyanto Hadi Prayitno
Sugiyanto Hadi Prayitno Mohon Tunggu... Penulis - Lahir di Ampel, Boyolali, Jateng. Sarjana Publisistik UGM, lulus 1982. Pensiunan Pegawai TVRi tahun 2013.

Pensiunan PNS, penulis fiksi. Menulis untuk merawat ingatan.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

(Novel FC) Cinta yang Menua #Bab II–Satu

24 Maret 2016   14:00 Diperbarui: 25 Maret 2016   10:32 85
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Tiapi bukan sakit hati ‘kan? Siapa tahu gara-gara cewek lagi. Sudah tua bukannya bertobat, ini malah menjadi. . . . .!” dengus Tante Martje sambil terkikik.

“Jangan suka menuduh begitu lho, Tante. Lagi pula siapa yang masih mau sama duda lapuk macam aku ini? Betapa senangku kalau masih ada. . . . .!” jawab Arjo sambil tersenyum geli sendiri. Baginya tua tentu sekadar tampilan fisik, sedangkan hati dan ketertarikan pada lawan jenis kiranya tak bersangkut-paut dengan umur. Terlebih bagi lelaki yang sudah lama terlantar sendiri seperti dirinya.

Tidak ada sahutan dari sebelah. “Siapa sih yang masih mau?” ucap Tante Martje di dalam hati. Itulah kalau punya mata tidak untuk memahami, punya perasaan dibuat bebal. Dasar laki-laki tak tahu diri. . . . . , rutuknya tak mampu menyembunyikan perasaan.

Tentu sebenarnyalah Arjo punya mata awas, bahkan punya perasaan kelewat sensitif untuk urusan perempuan. Ia tidak memadamkan keduanya. Semua kebaikan yang diberikan Tante Martje selama ini. Pertolongan, utang, bahkan juga tanggakan uang kamar kontrakan hingga dua bulan tentu bukanlah tidak sulit dilihat ada apa dibelakang hal itu. Kebaikan perempuan gendut yang putih dan masih begitu menggoda itu pasti tidak berarti apa-apa bagi Arjo menakala ingat dibelakangnya ada Om Robby yang sakit-sakitan dan sangat membutuhkan keberadaan isterinya.

Arjo melangkah keluar pintu, dan menengok ke dinding sebelah. Tante Martje sedang sibuk menggoteng pisang. Baunya sengit menggoda hidung, membuat perut lapar Arjo tambak berkeroncalan minta diisi.

“Kalau dibuat sakit hati maka tiap hari pasti ada saja sakitnya. Tapi untuk apa? Hidup terlunta begini juga gara-gara perempuan, gara-gara tak ada yang mau mengalah bahkan untuk orang yang bernama isteri, maka begini saja jadinya. Tak apa, dan memang apa boleh buat? Hidup sering menghadapi banyak pilihan, namun pada waktu lain tidak punya pilihan sama sekali selain harus menyerah pada apa yang ada. . . . .!”

“Sudahlah, jangan terlalu banyak ngoceh, kayak burung cucakrawa saja. Ini goreng pisang disantap dulu bisa perutnya berisi. Tidak punya uang bukan berarti tidak makan.. . . .,” Tante Martje menyorongkan sepiring , masih panas, ngebul uapnya menyebar kemana-mana.  “Makanlah agar pikiranmu tidak pergi kemana-mana, seperti orang kehilangan akal mikirin soal sakit, malah sampai ke sakit hati segala.. . . . .!”

Sejenak Arjo, si lelaki jangkung penuh daya tarik meski tua dan keruput, tercengang. Ia seperti melihat sesuatu yang belum pernah dilihatnya. Agaknya dari semalam tak sebutir nasipun mengisi perutnya. Hanya air putih dan rokok saja yang menyumpal mulutnya. “Wah, terimakasih. Say. . . . . Kata-kata apa yang mesti kupujikan padamu, Bidadariku. Sepagi ini ada juga orang berbelas kasihan pada si fakir. Alhamdulillah!” Arjo melempas senyum penuh sanjungan. 

Hari beranjak siang, angina menjadi malas bergerak, dan panas matahaari menyengat apa saja yang da di permukaan bumi. Arjo mencomot sebuah pisang yang dilapisi terigu dan digoreng kering hingga berwarna coklat tua. Menggigitnya sedikit demi sedikit, mengunyah, dan mengangguk-angguk puas. Manis, legit, dan panas menggigit lidah dan gigi. Tak terasa sebutir air mata bergulir menuruni pipi. Tiba-tiba Arjo ingat pada Praptari -mantan isterinya- yang tidak pernah menyukai gorengan apapun bentuknya. Perempuan itu terlalu protektif untuk menjaga kesehatan.  Cantik, bertubuh ramping, dan sehat, namun alangkah tersiksa untuk mempertahankannya. Seluruh anggota keluarga ikut tersiksa bila bicara soal makanan.

Sebuah bel panggilan nyaring di smartphone Arjo. Lelaki itu cepat beranjak menjangkau benda pipih penanda modernitas berkomeunikasi itu dengan antusias. “Selamat pagi. Assalamu’alllaikum. .. . .!”

“Pagi. Ini betul dengan Arjo. Tukang ojek sepeda di pangkalan Jalan Kelabang Hitam?” seru suara di seberang sana, tegas dan ketus.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun