Mohon tunggu...
Sugiyanto Hadi Prayitno
Sugiyanto Hadi Prayitno Mohon Tunggu... Penulis - Lahir di Ampel, Boyolali, Jateng. Sarjana Publisistik UGM, lulus 1982. Pensiunan Pegawai TVRi tahun 2013.

Pensiunan PNS, penulis fiksi. Menulis untuk merawat ingatan.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

(Novel FC)- Cinta yang Menua # Bab I – Tiga

20 Maret 2016   08:21 Diperbarui: 20 Maret 2016   09:23 128
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="old city - pre wedding. Sumber gambar : http://konsepprewedding.blogspot.co.id"][/caption]

Cerita sebelumnya : Bab I - Satu,  Bab I - Dua

Arjo Kemplu bercerita soal siapa dirinya. Gayanya teatrikal kelas kampung, sangat sarkas. Sering hanya dengan mimik dan gerak tangan dan bahu. Namun cepat dapat dimengerti maksudnya. Lalu ia beralih cerita ke soal anak-isteri, pekerjaan, dan tentu saja soal kenapa ia menjomblo, alias sendiri saja sejak belasan tahun terakhir. Kisah ang membosankan bagi orang lain sebenrnya. Tapi dengan gaya kocak pendengarpun terhanyut. Tentu kecuali yang tak peduli.

“Stop. . . . . stop! Jangan bertele-tele begitu ceritanya, Kawan. Bikin pusing, dan tidak penting. Mending langsung saja soal jatuh cinta. Ini ‘kan yang paling menarik. Dengan siapa, bagaimana ceritanya, sudah sampai sejauh mana, dan seterusnya. . . . .!” potong Mang Lukimin. Lelaki kurus yang selalu mengenakan blangkon itu suka memotong pembicaraan orang. Ia ingin to the point, alias langsung pada sasaran.

Arjo tersengat juga dengan gaya Mang Lukimin memotong pembicaraan. Tapi sebagai orang yang diplonco maka ia pun harus bersabar. Ia harus sabar menunggu entah kapan nanti ia akan ganti memplonco satu persatu teman-teman seprofesinya di situ. “Oh, aku juga suka kelugasan. Mang Lukiman agaknya mewakili perwatakan keras, getas, dan agak kurang sabaran. . . .hehehe. To the point ya. . . . .!”  

“To the point. . . .!” tiru orang-orang di situ sok keinggris-inggrisan.

“To the point saja, by the way aku masih on the way. . . . .!” ujar Santos yang pernah kerja menjadi TKI itu sambil tertawa-tawa. Agaknya ia mengingat betapa minim perbendaharaan bahasa Inggrisnya ketika bekerja di negeri orang tempo hari.

“Okey, to the point ya. . . .  tolong tulis pakai ballpoint ini pointers-nya. Terus terang aku sedang falling in love alias jatuh cinta pada cewek yang namanya. . . . .!” ucap Arjo cengengesan, sengaja memancing perhatian teman-temannya untuk menebak-nebak nama. “Pokoknya figur terkenal. Boleh tebak, coba siapa? Yang menjawab tepat dapat hadiah sebungkus rokok kretek Dji Rho Loe. . . . .!”

“Cantik, dan indo? Pasti Sopia Latjuba?”

“Yang produk lokal? Mungkin Syahrini?”

“Pendangdut goyang itik, yang suka latah bilang ‘itik nungging’? Siapa lagi. . . . .Saskia Gotik?”

Arjo menggeleng keras sambil tersenyum mengejek. “Terlalu besar biayanya, Mas Bro. Cantik itu mahal. Yang pasti bukan mereka, aku bukan si borju dan tidak mungkin.. . . . .!”

“Artis  luar negeri mungkin?” kejar Santos makin penasaran.

“Bukan! Yang kumaksud di sini bukan artis sinetron atau penyanyi tapi presenter tv, host, pembawa acara. Cukup terkenal untuk profesinya!” ucap Arjo sambil tertawa senang. Ia merasa pancingannya mendapat banyak respon.

“Fenny Rose. . . . .hahaha! Gampang!” teriak Aa Enjang dengan logat Sundanya yang kental sambil tergelak sendiri karena merasa yakin tebakannya kena.

“Salah!”

“Aku nebak. . . .  Sarah Sechan?” seru Aa Enjang mengagetkan.

“Ah, asal sebut saja ya. . . .! Nikita Mirzani, Aura Kasih, Luna Maya! Jesika Iskandar? Atau Ayu Tingting? Atau jangan-jangan Saiful Jamil. . . .!” seru Jimo Ladrang sengan suara melengking, serupa anjing terkencing-kencing. Seketika ramai para pengojek tergelak dan terbahak, saling dorong dan saling towel pundak..

Entah setan dari mana yang tiba-tiba menyelinap di kepala Arjo. Tapi tebakan terakhir itu sangat menusuk perasaan. Saiful Jamil? Memang ia lelaki apa? Genggam tangan kanannya sudah mengepal keras. Namun sekejap kemudian ia mengucap Astagfirullah. Beruntung Arjo Kemplu masih mampu menahan amarah. Ia tidak mau hanya masalah sepele tebak-tebakan menjadi ajang tawuran liar. Karena itu dengan spontan ia membuka jawabannya: “Dengar siapa yang kumaksud, dengar ya. Dia tak lain si gadis manis dan imut bernama lengkap Wasistra Anggraini. . . . .presenter Bincang Jelata di Stasiun TV Nayaka yang ayu-kemayu-molek bin cuantik bak bidadari itu. . . . .!”

“Perempuan yang beberapa kali naik ojek sepeda kita?” tanya Santos tidak yakin.

Sejurus orang-orang bungkam. Hanya ada saling pandang, saling lirik, dan tidak ada yang tersenyum sama sekali. Suasana sejenak tegang, sampai kemudian Marjuni –si lelaki berkumis tebal dengan gaya melambai itu- berbisik di telinga Arjo. “Kamu belum tahu siapa Wasistra. Bang?

“Siapa dia?”

“Dengar, ya. . . . dia anak bos besar di Pasar Kebon Klengkeng. Namanya Bian Lie Ong, atau terkenal dipanggil Haji Lolong. Preman dan sekaligus jawara yang menguasai semua urusan yang putih hingga yang hitam di pasar itu” desis Marjuni dengan suara keperempuan-perempuanan itu.

“Haji Lolong? Lalu apa hebatnya dia?” Arjo ingin menggali indormasi lebih banyak.

“Tidak terlalu menakutkan sebenarnya. Tapi semua orang bilang, jika berurusan dengan dia harus punya nyawa rangkap. . . . . Karena Haji Lolong dikenal sebagai si raja tega. Ia kebal bacokan dan peluru. Ia licin seperti belut, dan tidak mudah ditangkap aparat. Justru aparat yang sering bertekuk lutut di bawah perintahnya!” tambah Santos dengan berbisik pula.

“Ohh, begitu ya. . . . . .!” Arjo Kemplu sampai ternganga mendengar cerita sepak-terjang Haji Lolong yang merupakan orangtua selebritis yang sangat menarik hatinya itu. Belum sempat berbicara yang lain, Arjo melihat seorang gadis turun dari sebuah minibus lalu berlari-lari kecil ke arah pengkalan ojek sepeda onthel.

Dengan sudut mata, Arjo seperti mata elang hendak menangkap mangsa, ia mabur cepat. Ia kebetulan di urutan pertama giliran menunggu penumpang. Dan entah mimpi apa semalam, orang yang dibayang-bayangkan itu tiba-tiba muncul begitu dekat di depan matanya. Ya, tidak salah lagi. Gadis cantik yang seolah melayang turun dari awang-awang itu tak lain adalah si jelita presenter tv Bincang Jelata: Wasistra Anggraini!

***

Ajaib, dalam hitungan detik si bidadari sudah berada dalam boncengan sepeda onthel Bang Arjo Kemplu. Seperti dalam cerita-cerita film romantik tahun 1970-an begitulah Arjo membayangkan dirinya saat itu. Bukan sebagai pengojek dan penumpang, terlebih juga bukan sebagai kakek renta dengan seorang cucu yang sangat cantik, tetapi sepasang kekasih. Tiba-tiba ia merasa menjadi sangat muda, sangatr belia. . . .

Setidaknya begitulah perasaan Bang Arjo Kemplu yang berbunga-bunga. Ah, pasti sekedar bunga liar di pematang sawah di kaki gunung jauh. Merah menyala seperti memperlihatkan rasa bahagia yang tak terbandingkan. Bagi Arjo tidak penting bagaimana perasaan si cantik Wasi. Toh jaring perangkap asmara sudah ditebarkan, tinggal meracik umpan dan menunggu nasib baik. Ketika bulan mati, dan gerombolan ikan terpengaruh cuaca dingin untuk segera menyambar umpan di ujung jaring.

Sementara Wasi berpikiran kritis hari itu, ia akan mewawancarai seorang mucikari. Bukan sembarang mucikari, narasumbernya kali ini terindikasi kriminal karena menjajakan tubuh dan wajah-wajah sangat popular di layar televisi maupun layar film. Para artis itu menurut media memiliki keberanian dan kenekatan entah karena dorongan biologis atau belitan ekonomi.

Wasi merencanakan sebuah pertanyaan paling mendasar: “Cinta macam manakah yang masih mungkin tumbuh dari hubungan berdasarkan transaksi rupiah itu? Apakah seorang mucikari ikut bertanggungjawab terhadap semua akibat buruk yang dialami si selebritis bila kelak profesi sampingan mereka terkuak?”

Wasi tidak terlalu memperhatikan jalan yang dipilih Bang Arjo. Sepeda meluncur pelan, meliuk-liuk di sela-sela orang-orang yang berjalan tak peduli. Dan baru kemudian disadarinya. Ah, gila ini. . . ., gumamnya tersentak. Ternyata minyak wangi Tukang Ojek tua yang ditumpanginya itu sudah begitu akrab di hidungnya. . . . . .  (Bersambung)

Bandung, 20 Maret 2016

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun