“Huusss! Jangan dibahas.. . . . .!” ucap Arjo merasa keceplosan tadi, dan ingin cepat meralat tambahan kata ‘seperti aku ini’ dengan kata lain. “Semua boleh jatuh cinta, tidak ada larangan, tapi menculik itu jelas kriminal.. . . . .”
“Biarpun harga bensin naik turun tidak menentu, ternyata harga sebungkus nasi sayur di Warteg Mas Barok terus naik. Karenanya kita harus menaikan ongkos ojek sepeda onthel?” ucap Aa Enjang mengalihkan pembicaraan.
Orang-orang melongo, tapi maklum. Si Aa Enjang itu paling sering patah hati, sering ditolak perempuan, bahkan pacarnya yang terakhir yang gemuk-pendek dan hitam itu lari ke pelukan tukang rongsok. Apes memang.
Arjo tidak tahu apa yang ada di dalam pikiran mereka. ia belum dua minggu ini coba bergabung dengan mereka. Tentu tidak mudah, ia harus pinter membujuk, menjanjikan sesuatu, dan akhirkan sekedar sok akrab saja. Penolakan yang ada pun lambat-laun menyurut.
Beberapa pengojek beranjak berdiri. Giliran orang-orang itu untuk mengantar penumpang. Jalan di depan pangkalan ojek mulai macet. Sejumlah lelaki dan perempuan memilih ojek sepeda onthel. Terasa kembali ke zaman baheula. Lebih baik membaui keringat pengojek dari pada tersengat bau bensin dan asep knalpot, itu slogan yang dengan berseloroh selalu diucapkan para pengonthel.
Arjo ingin beranjak karena kebelet pipis. Namun rupanya pembicaraan masih berlanjut. Di ujung seorang lelaki mengangkat tangan.
“Ayo Bos, mau ngomong apa?” canda Arjo sambil menoleh ke sudut.
“Soal naik ongkos itu bisa dibicarakan lain kali sajalah. Tapi ini soal jatuh cinta dan kemungkinan menculik tadi bagaimana?” desak Mang Lukimin dengan nada suara sangat antusias. “Sesekali kami pingin juga mendengar cerita langsung dari sumber aslinya. Daripada melihat di layar televisi yang tampak sudah direkayasa itu. Ayo buatlah pengakuan Bang Arjo, bagaimana soal jatuh cinta beda generasi itu? Tapi apa lelaki setua abang masih laku di depan perempuan? Apa kelelakian Abang sangat mumpuni sehingga banyak cewek usia matang untuk dinikahi jatuh klepek-klepek di hadapan Abang?”
Beberapa pengojek tersenyum. Mengangguk-angguk, saling memandang sekeliling, Lalu tertawa, terbahak dan riuh.
Ya, itulah hiburan rakyat jelata. Di pangkalan ojek itu kesenangan kecil selalu muncul tak terduga. Namun yang paling sering membuat pecah tawa tak lain kecerdasan jalanan mereka untuk saling ejek dan saling lempar banyolan. Dan itu murah meriah. Memang sesekali yang dirasa keterlaluan akan dapat menimbulkan perkelahian, tapi lebih sering saling mengerti dan saling memaafkan. Toh tiap orang dapat saja menjadi bahan tertawaan, apapun, dan mereka sanggup bersikap tahan banting. Hanya memang Arjo belum terbiasa dengan suasana seperti itu.
Ada banyak anggota pangkalan ojek sepeda onthel di situ Arjo termasuk anggota baru yang mesti diplonco. Kayak di dunia pendidikan saja. Dari segi umur Arjo memang terbilang senior, namun dari segi keanggotaan menjadi yang termuda. Itu sebabnya boleh dikerjain bahkan ditertawai sebahak-bahaknya. . . .!