Mohon tunggu...
Sugiyanto Hadi Prayitno
Sugiyanto Hadi Prayitno Mohon Tunggu... Penulis - Lahir di Ampel, Boyolali, Jateng. Sarjana Publisistik UGM, lulus 1982. Pensiunan Pegawai TVRi tahun 2013.

Pensiunan PNS, penulis fiksi. Menulis untuk merawat ingatan.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

(Novel-FC) Cinta yang Menua # Bab I - Dua

17 Maret 2016   13:19 Diperbarui: 17 Maret 2016   13:31 181
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="bersepeda di senja hari"][/caption]Cerita sebelumnya : cinta-yang-menua-bab-i - satu

Bukan Arjo Kemplu namanya kalau tidak bermodal nekat, tanpa menggunakan perhitungan akal sehat. Lelaki tua itu hanya seorang pemain drama pada sebuah grup teater kecil di Gang Klobot, jalan Muara Permata Timur, dekat Pelabuhan di utara Kota. Sesekali ia dipercaya menjadi penulis naskah dan sutradara. Jelas honor yang diterimanya kecil saja, sangat tidak mencukupi untuk menutupi gaya hidupnya yang boros itu.

Dua minggu terakhir ini ia pasang badan membuat perangkap untuk mangsa yang sudah lama diincarnya. Dan semua skenario sudah disusun detil dan lengkap. Di mana biasanya ujung kemacetan total di mulai, dan siapa saja yang terpaksa harus menggunakan ojek sepeda onthel untuk mencapai tujuan akhir karena desakan waktu. Ya, tentu terutama orang-orang pada beberapa menara kantor bisnis, termasuk sebuah kantor media penyiaran, Stasiun TV Nayaka, di ujung jalan sana.

Siang itu beberapa pengojek sepeda onthel menunggu penumpang dengan ngobrol. Ada juga yang main catur. Yang lain merokok dengan tubuh disandarkan ke tembok. Di luar panagkalan yang dinaungi seng, belasan sepeda onthel distandarkan berjejer rapi dalam posisi standby.

Arjo Kemplu seperti biasa menjadi semacam moderator. Ia mengatur lalu-lintas celotehan, dan menggiring peserta ngobrol pada topik yang telah disepakati. Topik kali ini berbentuk sebuah pertanyaan: Kenapa lelaki tua masih juga suka perempuan muda? Lalu bagaimana cara mewujudkan cinta itu?

“Kenapa bisa begitu, ya?” pancing Arjo dengan mimik ingin tahu, memancing teman-temannya berkomentar.

 “Topik kali ini agak kurang relevan. Dari sekitar tiga puluh orang pengojek hanya lima orang yang tua renta seperti sampeyan. Mestinya topik diganti saja: kenapa lelaki jelek selalu kepincut pada perempuan cantik? Nah lelaki jelek itu bisa saja sudah uzur, tua-renta dan bau tanah. . . . !” kata Mas Badri yang mantan pegawai negeri itu panjang lebar. Orang-orang serius mendengarkan. Dalam hati begumam: kalau tidak sedang berjudi agaknya ia cukup normal untuk berpikir kritis.

“Oke, ganti saja. Permintaan Mas Badri diterima. Nah, pembicaraan dilanjutkan. . . . .!” ujar Arjo dengan terkekeh. “Ayo, siapa lagi yang ingin menanggapi, menyalahkan atau  membenarkan?”

“Aku punya ide ini. Bagaimana kalau orang-orang jelek itu bersatu dan menculik cewek cantik yang menjadi incarannya. ‘Kan ada adat di daerah yang membenarkan tindakan itu?” ucap Santos yang berkepala plontos.

“Menculik? Apa orang yang jatuh cinta seperti aku ini harus menggunakan cara sadis itu? Kayak di sinetron saja. . . . .!” komentar Arjo setengah jengkel namun pada saat yang sama agak geli juga. Pikiran liar seseorang bisa sangat mengagetkan, bahkan untuk orang yang sudah terbiasa dengan berbagai cerita fiksi yang absurd seperti dirinya.

“Jatuh cinta?” giliran pengojek lain, Jimo Ladrang, nyeletuk kaget. Penasaran.

“Huusss! Jangan dibahas.. . . . .!” ucap Arjo merasa keceplosan tadi, dan ingin cepat meralat tambahan kata ‘seperti aku ini’ dengan kata lain. “Semua boleh jatuh cinta, tidak ada larangan, tapi menculik itu jelas kriminal.. . . . .”

“Biarpun harga bensin naik turun tidak menentu, ternyata harga sebungkus nasi sayur di Warteg Mas Barok terus naik. Karenanya kita harus menaikan ongkos ojek sepeda onthel?” ucap Aa Enjang mengalihkan pembicaraan.

Orang-orang melongo, tapi maklum. Si Aa Enjang itu paling sering patah hati, sering ditolak perempuan, bahkan pacarnya yang terakhir yang gemuk-pendek dan hitam itu lari ke pelukan tukang rongsok. Apes memang.

Arjo tidak tahu apa yang ada di dalam pikiran mereka. ia belum dua minggu ini coba bergabung dengan mereka. Tentu tidak mudah, ia harus pinter membujuk, menjanjikan sesuatu, dan akhirkan  sekedar sok akrab saja. Penolakan yang ada pun lambat-laun menyurut.

Beberapa pengojek beranjak berdiri. Giliran orang-orang itu untuk mengantar penumpang. Jalan di depan pangkalan ojek mulai macet. Sejumlah lelaki dan perempuan memilih ojek sepeda onthel. Terasa kembali ke zaman baheula. Lebih baik membaui keringat pengojek dari pada tersengat bau bensin dan asep knalpot, itu slogan yang dengan berseloroh selalu diucapkan para pengonthel.

Arjo ingin beranjak karena kebelet pipis. Namun rupanya pembicaraan masih berlanjut. Di ujung seorang lelaki mengangkat tangan.

“Ayo Bos, mau ngomong apa?” canda Arjo sambil menoleh ke sudut.

 “Soal naik ongkos itu bisa dibicarakan lain kali sajalah. Tapi ini soal jatuh cinta dan kemungkinan menculik tadi bagaimana?” desak Mang Lukimin dengan nada suara sangat antusias. “Sesekali kami pingin juga mendengar cerita langsung dari sumber aslinya. Daripada melihat di layar televisi yang tampak sudah direkayasa itu. Ayo buatlah pengakuan Bang Arjo, bagaimana soal jatuh cinta beda generasi itu? Tapi apa lelaki setua abang masih laku di depan perempuan? Apa kelelakian Abang sangat mumpuni sehingga banyak cewek usia matang untuk dinikahi jatuh klepek-klepek di hadapan Abang?”

Beberapa pengojek tersenyum. Mengangguk-angguk, saling memandang sekeliling, Lalu tertawa, terbahak dan riuh.

Ya, itulah hiburan rakyat jelata. Di pangkalan ojek itu kesenangan kecil selalu muncul tak terduga. Namun yang paling sering membuat pecah tawa tak lain kecerdasan jalanan mereka untuk saling ejek dan saling lempar banyolan. Dan itu murah meriah. Memang sesekali yang dirasa keterlaluan akan dapat menimbulkan perkelahian, tapi lebih sering saling mengerti dan saling memaafkan. Toh tiap orang dapat saja menjadi bahan tertawaan, apapun, dan mereka sanggup bersikap tahan banting. Hanya memang Arjo belum terbiasa dengan suasana seperti itu.

Ada banyak anggota pangkalan ojek sepeda onthel di situ Arjo termasuk anggota baru yang mesti diplonco. Kayak di dunia pendidikan saja. Dari segi umur Arjo memang terbilang senior, namun dari segi keanggotaan menjadi yang termuda. Itu sebabnya boleh dikerjain bahkan ditertawai sebahak-bahaknya. . . .!

“Oke soal jatuh cinta. Itu keceplosan sebenarnya tadi. Ya tidak mengapalah, kuurai secukupnya sekarang agar kalian dapat tertawa keras-keras di sini.. . . . .!” gumam Arjo sambil menata duduknya di bangku semen di situ. Yang lain jongkok, duduk di lantait, dan ada yang tetap berdiri. (Bersambung)

Bandung, 17 Maret 2016

Sumber gambar : http://pilaroutdooractivity.blogspot.co.id

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun