“Syaratnya apa sih, Neng, untuk masuk kesana?” Arjo penasaran juga untuk mengejar sekadar cepika-cepiki itu. Bahkan siapa tahu lebih angan-angannya selama ini terwujud.
“Gampang, Bang. Bikin cerita sensasi dulu di media baru boleh mengajukan diri jadi narasumber!”
“Sensasi bagaimana ya?”
“Misal menolong penumpang ojek sepeda yang mau dirampok, lalu terjadi pergulatan, dan para perampok dapat dikalahkan meski Abang mengalami luka-luka.. . . . .!”
“Sampai begitu?”
“Atau, Abang sedang narik penumpang seorang artis atau public figure, lalu datang mobil nyelonong hingga menabrak, dan itu ramai menjadi liputan media. . . . . .!” jelas Wasi dengan bersemangat.
Arjo ciut. Itu syarat yang tidak saja berat, tapi hampir tidak mungkin. Masak sih harus pakai sandiwara segala. Tampilnya di tv belum tentu terlaksana, tapi ditangkap Polisi hampir pasti. Arjo tersenyum sendiri dengan kecut.
Lepas dari kekecutannya, tuturan Wasi yang penuh semangat, membuat Arjo merasa diri makin gagah-muda dan perkasa saja. Ia tiba-tiba merasa mendapatkan jalan termudah untuk meraih buah sangat ranum di kebun tetangga. Kayak Galih dan Ratna, atau Romi dan Juli dalam film romantis lawas banget. Air ludahnya pun tertelan tanpa terasa. Gumamnya dalam hati, kalau memang ada cinta tidak akan pergi kemana. . . . . ..
“Begitu ya, Neng. . . . .!” dengus Arjo agak terbata-bata.
Arjo tidak menyadari nafas tuanya, tidak cukup hati-hati mengendalikan stang sepedanya. Bola matanya yang berbinar-binar itu seperti sedang bermimpi mengemudikan mobil mewah keluaran mutakhir. Karuan saja laju sepeda dengan penumpang berboncengan demikian menjadi oleng, jalan tak rata, di ujung sana trotoar menghilang yang mengharuskannya menukik keluar trotoar ke arah jalan beraspal. . . . . Dan gedubrakkkkk!! (Bersambung)
Bandung, 15 Maret 2016