***
Arjo pertama kali mendapatkan penumpang sangat cantik pada ojek sepedanya. Dan ia hafal betul siapa yang terpaksa harus menggunakan jasanya itu. Macet total lalu lintas dari semua arah menguntungkan pengojek sepeda. Metropolitan sudah biasa begitu. Dan itulah kesempatan satu-satunya untuk mengungkap perasaan terpedam kepada perempuan cantik siapapun.
“Abang memang bukan lelaki yang banyak kelebihan. Tapi abang punya berlimpah perhatian dan kesetiaan. Kalau saja Neng mampu melihat dengan lebih seksama, maka akan Neng jumpai ketulusan yang ada di dada Abang. . . . .!” ujar Arjo Kemplu sambil menggenjot pedal dengan suara dikeraskan.
Jalanan agak menanjak, terik matahari menghardik, dan perut kempisnya mulai keroncongan tak tertahankan. Arjo berpikir, mungkin dengan melepas kata-kata gombal desakan naluri mengunyah dan menelan apa saja sebagai pengganjal perut dapat diredakan. Sayangnya harapan itu sama sekali salah.
Lusiana –nama perempuan cantik di boncengan- jangankan menjawab, mendengarkan omongan ngawur itu pun tidak. Ia sedang sibuk melambai-lambaikan tangan pada beberapa kenalan di balik kaca mobil mewah yang terjebak macet. Sekadar fans, kenalan lama, atau rekan seprofesi, mungkin ada Wasistra juga di sana, entah!
Ada aksi ricuh demo mahasiswa di depan gedung dewan perwakilan rakyat di sebelah jalan lain di depan sana. Dampaknya semua jalan dilanda macet total, mobil dan sepeda motor tidak dapat bergerak. Hanya sepeda onthel yang meluncur, itu pun di trotoar untuk pejalan kaki yang bebas melenggang. Dan Lusiana banyak pasang senyum tanpa perasaan apapun.
***
Waktu tinggal tiga puluh menit lagi untuk dimulainya acara Bincang Jelata pada stasiun tv Nayaka petang itu. Wasi dengan senyum mengembang sangat yakin tidak akan telat. Setahun terakhir ia sukses membawakan acara itu. Dan tidak pernah telat. Karenanya Bang Arjo dan entah berapa puluh jelata lain tanpa sadar terhipnotis pada sosok dan karakter Wasi. Perempuan itu tak segan memberi hadiah cepika-cepiki kepada setiap narasumber, siapapun yang dibawanya ke studio. Harapannya agar jalannya acara lebih hidup dan atraktif. Ia bersikap profesional, dan hasilnya memang tampak nyata.
Ternyata jarak masih cukup jauh. Tak urung kekuatiran menggelayuti pikiran juga. “Agak cepatan dikit, Bang.. . . .!” teriak Wasi sambil menyolek pinggang Bang Arjo.
“Dapat hadiah cepika-cepiki, nih?” spontan Arjo menyahut sambil menoleh ke arah penumpangnya.
“Boleh, tapi nanti lain kali kalau Abang jadi tamu di Bincang Jelata. . . . .”