Kampung padat penduduk dan kumuh itu mendadak heboh suatu pagi. Itu terjadi saat Mang Japra si penjaja air keliling mengedarkan undangan. Semua orang sudah menduga lelaki itu bakal nikah dengan Jeng Klitan. Namun ketika undangan dibuka, dibaca, dan diamati berulang-ulang, yang terbaca di situ nama Jeng Klitan dengan Mas Joko…..Ya, orang-orang tidak salah baca: Mas Joko! Hari/tanggal resepsi tahun depan!
Maka ramai-ramai orang kampung mencari kabar pasti dan kebenaran mengenai isi undangan itu ke rumah Mas Joko. Namun rumah kontrakan itu sudah kosong. Bersih. Agaknya semalam diam-diam suami-isteri itu menghilang bersama semua perabotan rumah yang tak seberapa banyak untuk pergi entah ke mana.
Kampung tambah geger. Karena sepagi itu suara Jeng Klitan sudah mendayu-dayu merdu menggumamkan sebuah dangdut melow, seperti dalam sinetron. Bukannya menangis sedih, ia malah tertawa, terkikik, dan bernyanyi-nyanyi. Orang-orang sekeliling makin bingung. Tidak tahu apa yang terjadi sebenarnya. . .!
Agak siang muncul sebuah spanduk di pagar rumah kontrakan itu, dengan tulisan mencolok: ‘Mari keraskan hujatan kita kepada Mas Joko! Dialah biang keladinya. Temukan dimanapun keberadaannya. Hajar, habisi. Jangan beri ampun!’ Siapa lagi pembuat spanduk provokatif itu kalau bukan Jeng Klitan. Sempat-sempatnya ia membuat digital printing untuk sekedar pamer kemarahan begitu.
Kabar yang beredar setelah itu  lebih menyentak: Jeng Klitan hamil. Agaknya ia termakan kelicikannya sendiri. Hari itu Mang Japra pun mengikuti jejak Mas Joko, ikut menghilang.
Cibaduyut, 27 Oktober 2015 – 29 Januari 2016
Simak juga artikel lain :
1. Merampok Diri Sendiri, Drama yang Gagal
2. Di Pelabuhan Bitung, Ombakpun Limbung
3. Teroris dan Koruptor yang Berbeda Nasib