[caption caption="pedagang air bersih | sumber gambar: Republika.co.id"][/caption]
Dari balik dinding anyaman bambu, Jeng Klitan mendengar jelas suara itu. Ya, suara apa lagi selain pertengkaran antara Mas Joko dengan Bu Lamijah, isterinya. Adzan subuh baru saja usai. Mestinya para lelaki pergi ke mushola untuk sujud berjamaah. Tapi ini malah pasang kuda-kuda untuk tawuran….
Jeng Klitan membatin sendiri dengan seulas senyum kelicikan. Sejurus sebuah jurus baru tertanam di benaknya.
“Ya, kapan lagi mengail di air keruh? Hehe…. Pakai peribahasa jadul. Kan memang sekarang tidak ada sungai yang tidak keruh. Juga tidak ada persoalan yang tidak memusingkan untuk diketahui ujung-pangkalnya! Siip, pokoknya siplah, rencana matang sudah tersusun dalam akal bulusku. Jangan sebut Jeng Klitan kalau tidak mampu berulah nan seru….!”
Suara dari balik dinding itu: “Beras habis, tabung gas kosong, tagihan utang numpuk, dompet melompong. Apalagi yang dapat dipertahankan dari rumah-tangga runyam seperti ini?” pekik Bu Lamijah tersentak-sentak, seperti kesetrum arus listrik teganggan tinggi.
“Baru minggu lalu semuanya ada. Beras sekarung, gas dua isi tiga kilo. Uang belanja juga kukasih. Kemana saja mereka itu?” jawab Mas Joko dengan suara kalem, coba meredam pagi yang penuh geram itu.
“Beras sekarung? Berapa orang saudaramu yang datang untuk meminjam beras? Ada juga bahkan yang menukar tabung gas kosong dengan tabung isi di rumah ini. Seolah kita bandar gas. Lalu uang segitu mana cukup. . . . .?!” Bu Lamijah tak menyurutkan nada suaranya. Tetap getas, lantang, dan cadas; menyerupai lengking penyanyi rock.
Mas Joko terdiam beberapa saat. Agaknya berpikir dalam. Lalu tiba-tiba ingat ada satu hal yang belum disampaikan isterinya itu. “Lalu soal uang belanja habis, bagaimana ceritanya itu?”
Seketika dengus Bu Lamijah seperti mengkerut. Jeng Klitan menajamkan pendengaran, sambil menduga-duga jawaban apa yang akan dilontarkan Bu Lamijah. Tapi sepi, tidak ada kelanjutan pertengkaran. Terpaksa Jeng Klitan menempelkan daun telinga ke dinding anyaman bambu. Baru asyik menajamkan pendengaran, ketika tiba-tiba seember air diguyurkan ke arah dinding anyaman bambu. Tak pelak pancaran air pun muncrat kemana-mana. Bahkan membasahi sekujur tubuh Jeng Klitan yang tambun itu…..
***
Siang hari Jeng Klitan mencari-cari kesempatan untuk menginterogasi tetangganya yang cantik, tinggi semampai, namun banyak utangnya itu. Sudah empat kali Jeng Klitan ke warung untuk beli bumbu dapur. Bukan untuk memasak, tapi sekedar mau cari kesempatan ngobrol dengan Bu Lamijah.