Mohon tunggu...
Sugiyanto Hadi Prayitno
Sugiyanto Hadi Prayitno Mohon Tunggu... Penulis - Lahir di Ampel, Boyolali, Jateng. Sarjana Publisistik UGM, lulus 1982. Pensiunan Pegawai TVRi tahun 2013.

Pensiunan PNS, penulis fiksi. Menulis untuk merawat ingatan.

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Pilihan

Merampok Diri Sendiri, Drama yang Gagal

27 Januari 2016   12:12 Diperbarui: 29 Januari 2016   21:36 201
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="lelaki di balik jeruji besi"][/caption]

Orang dapat memperlakukan diri sendiri dengan banyak cara. Namun setidaknya dibedakan menjadi dua, yaitu secara sadar dan tidak sadar, secara baik atau buruk. Yang paling banyak tidak sadar, dalam bahasa agama, disebut menzalimi diri sendiri. Itu berarti meperlakukan diri dengan buruk. Jika seseorang melakukan tindakan keliru, menyimpang, tidak mengikuti aturan, dan terlebih melanggar, maka pada hakekatnya orang itu (siapapun) telah menzalimi diri sendiri.

Logikanya sederhana, dalam hidup ini hanya beberapa peristiwa yang tidak sesuai dengan hukum sebab-akibat alias sunatullah.  Beberapa contoh, yaitu Nabi Ibrahim yang selamat dari api yang membakarnya, Nabi Musa dengan peristiwa laut yang terbelah dan kemudian menenggelamkan Firaun dengan bala tentaranya, serta Nadi Khidir yang hidup hingga saat ini.

Dan orang-orang yang menjauhi ketentuan agama (secara terang-terangan maupun dalam hati kecil) sebenarnya hanya ingin menghindari hukum sebab-akibat itu. Orang yang suka memakan/meminum jenis makanan/minuman yang membahayakan tubuh berharap bahwa tubuhnya kuat dan tidak terpengaruh dengan buruknya makanan/minuman itu. Orang yang melakukan kejahatan bagi orang lain berharap kejahatan serupa tidak akan menimpa dirinya.

Termasuk orang-orang yang menzalimi diri sendiri adalah peristiwa seorang kepala kantor yang belum lama ini merampok uang milik kantornya sendiri. Bacanya beritanya di sini.

Drama yang Gagal

“Habib sebagai aktor dengan penghayatannya kurang total, mestinya survei dulu pada orang yang betul-betul mengalami kerampokan sehingga aktingnya meyakinkan Polisi. Sementara Ardin sebagai sutradara kurang mendukung dengan trik dan latihan yang cukup. Akibatnya drama satu babak itu gagal total ! Terbukti tidak mudah membuat pementasan yang sukses... hehehh.”

Itulah tulisan saya pada kolom kementar berita yang bersangkutan. Ya, tentu itu hanya sisi lain dari peristiwa kriminal yang sangat lucu kalau ditinjau dari sisi humorologi (mungkin termasuk juga kelirumologi-nya Jaya Suprana). 

Tapi bagaimana supaya drama itu meyakinkan di mata Pak Polisi? Tentu tidak perlu harus ada korban jiwa. Cukuplah wajah dan tubuh lebam-lebam kena bogem mentah di pemeran korban perampokan. Atau kalau mau lebih meyakinkan ada anggota tubuh yang terserempet peluru tajam. Wajah alias mimik memprihatinkan karena kesakitan tentu menjadi penghayatan asli dan tidak dibuat-buat. Dan itu akan mempengaruhi sikap tubuh dan cara bicara ketika dikonfirmasi petugas.

Namun memang membuat drama, apalagi hanya spontan dan kurang latihan, tidaklah mudah. Maka jangan terlalu mudah mengkritik dan mencibir pemeran film/sinetro/drama panggung yang kurang bagus menurut penilaian kita. Betanyalah soal drama dengan dedengkot Teater Koma N. Riantiarno, serta sutradara film andal Hanung Bramantyo agar hasil karya amatiran itu cukup mengesankan.

Yang pasti, para pemeran dalam drama perampokan kantor sendiri itu harus banyak berlatih dengan keras. Sayangnya Ardin sudah terlanjur dipecat dari jabatannya. Jadi untuk apa latihan, dan apa lagi harus mengulang lelakon lama yang sudah diketahui banyak orang bagaimana ending cerita itu.

Penutup

Pokok persoalannya boleh jadi sekadar hobi yang salah, yaitu kegemaran pada dugem, lalu berteman sesama penyuka dugem. Perlu uang banyak maka rencana tindak kriminal pun dibuat. Kemudian berakhir di kantor bahkan di balik jeruji besi Polisi. Soal kedua pada rayuan tumpukan uang yang membuat orang hilang akal, berani menempuh jalan sesat/salah dan konyol.

Dengan berbagai cara dan teknik interogasi maka Polisi tidak sulit mengendus ada-tidaknya motif kriminal. Meski terkait dengan hukum dan keadilan  sering juga terjadi salah tangkap, pengadilan sesat, dan hal lain serupa itu. Hingga suatu ketika para penegak hukum itu ganti menjadi pesakitan dan menjadi obyek interogasi.

Tulisan ini hanya ingin menggarisbawahi hal sederhana saja: jangan men-zalimi diri sendiri, apapun dan bagaimanapun bentuk serta caranya. Jika kia melakukannya maka bersiap-siaplah menghadapi bukan hanya pengadilan dunia tetapi juga pengadilan akhirat : didatangkan anggota tubuh sebagai saksi, diputar ulang setiap detil kejadian yang berlangsung, dan didatangkan saksi-saksi malaikat pencatat amal.

Itu saja nasehat pada diri sendiri. Terimakasih untuk yang terlanjur ikut menyimak.  Mudah-mudahan mendapatkan pesan penting di sini: jangan men-zalimi diri sendiri! Sebab itu berarti pula tidak men-zalimi orang lain, mahluk lain, bahkan juga lingkungan alam ini.

Bandung, 27 Januari 2016

Sumber gambar: di sini

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun